Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Banjir Darah di Kampung Mandor

28 Juni 2022   06:00 Diperbarui: 28 Juni 2022   06:08 1571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makam Juang Mandor (cagarbudaya.kemdikbud.go.id)

Tepat pada 28 Juni 1944, peristiwa berdarah yang menewaskan sekitar 21 ribu korban jiwa dari rakyat Indonesia, terjadi di daerah Mandor, Kalimantan Barat. Angkatan Laut Jepang sejak kedatangannya sudah menaruh curiga terhadap gerakan-gerakan yang dilakukan oleh rakyat disana.

Tidak hanya rakyat biasa yang menjadi sasaran, melainkan juga terhadap para intelektual dan tokoh-tokoh setempat. Belum lagi terhadap mereka yang dicurigai telah bergabung dengan kekuatan laskar bersenjata Indonesia, yang kala itu dianggap ilegal oleh Jepang.

Terlebih ketika Jepang mengetahui peristiwa yang terjadi di Mandor pada masa pendudukan Belanda. Bibit-bibit perlawanan selalu diwaspadai oleh Jepang, dengan menebarkan kampanye agitatif yang bernada ancaman. Bagi siapapun yang memiliki niat untuk melawan pendudukan Jepang disana.

Pada awalnya, kedatangan tentara Jepang disambut cukup baik oleh penduduk Kalimantan Barat. Karena mereka dianggap sebagai bangsa pembebas, tetapi, lambat laun, tabiat Jepang dalam mengeksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, membuat masyarakat geram, khususnya bagi masyarakat adat.

Belum lagi perihal tindakan semena-mena dalam menerapkan sistem hukum dan peradilan perang, yang dinilai menyengsarakan rakyat. Baik dalam persoalan romusha, ataupun penyerahan hasil bumi masyarakat. Semua terangkum jelas dalam berbagai upaya melakukan perlawanan, walau tidak dengan mengangkat senjata.

Aksi-aksi kekerasan tentara Jepang terhadap seluruh masyarakat tanpa memandang entis atau suku, semakin menegaskan akan adanya potensi pertikaian. Hal inilah yang kemudian dianggap oleh Jepang sebagai ancaman. Tuduhan menggerakkan massa, dan sabotase oleh para kaum intelektual, menjadi latar belakang terjadinya peristiwa ini. 

Selain itu, pihak Jepang juga menyasar para politisi, pejabat publik, hingga tokoh agama. Semua dihadapkan dengan tuduhan yang sama, yakni pemberontakan. Hingga pada suatu waktu, tentara Jepang melakukan aksi pendobrakan terhadap setiap rumah yang dicurigai sebagai "sarang" perlawanan.

Monumen Mandor (cagarbudaya.kemdikbud.go.id)
Monumen Mandor (cagarbudaya.kemdikbud.go.id)

Walau sebatas menerapkan ancaman, justru kebiasaan ini akhirnya membuat peristiwa Mandor itu terjadi. Hal ini sesuai data yang tercatat pada sebuah harian Jepang (Boruneo Shinbun), bahwa tentara Jepang akan membungkam berbagai rencana perlawanan terhadap kebijakan politik masa perangnya.

Sejak saat itu, secara massal para penduduk Mandor digiring oleh Jepang ke suatu daerah untuk dilakukan pembersihan. Mereka dibunuh dengan menggunakan senjata api ataupun tajam (samurai/pedang). Semua tidak luput dari rencana pembantaian yang sistematis tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun