Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Budaya Tani dari Relief Candi hingga Prasasti

23 Juni 2022   05:30 Diperbarui: 23 Juni 2022   07:12 2301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Masyarakat masa lalu/relief di candi Borobudur

Sejarah Indonesia telah mencatat, bahwa kegiatan pertanian adalah kultur-mayor yang memang menjadi kegiatan keseharian utama masyarakat kala itu. Sebagai negara agraris, sejak dahulu sumber utama penghidupan berasal dari lingkup pertanian. Selain dari sumber laut yang juga dominan bagi masyarakat pesisir.

Tetapi, kebutuhan utama dari hasil pertanianlah yang lebih mendominasi, dimana kelak menarik simpati bangsa lain untuk melakukan berbagai kegiatan ekonomi dan bahkan kolonialisasi. Hal ini merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri, dimana rempah-rempah di Nusantara terbukti sebagai hasil pertanian yang terbaik sejak masa lampau.

Bukti-bukti adanya kegiatan pertanian pada masa lampau telah banyak diulas dalam berbagai literasi. Bila kita tinjau dari asal muasal, maka bukti sejarah yang tertulis dalam berbagai prasasti, relief candi atau kitab-kitab adalah fakta yang tidak dapat diragukan.

Bahkan dalam beberapa relief di Candi Borobudur juga menjelaskan kegiatan pertanian pada masa lampau. Baik dalam konteks kebutuhan pangan, ekonomi, ataupun kepentingan kegiatan keagamaan. Semua berlatar hasil bumi yang melimpah, sebagai wujud eksistensi manusia dengan alam sekitarnya.

Kegiatan seperti perjamuan, pemujaan, atau sedekah bumi, dijelaskan sebagai bentuk apresiasi masyarakat terhadap sumber pangan yang melimpah. Seperti yang diterangkan dalam kitab Negarakertagama, Pupuh 30, yang artinya kurang lebih demikian; "mengalir rakyat yang datang sukarela tanpa diundang, membawa bahan santapan, girang menerima balasan".

Artinya bahwa, kondisi masyarakat yang makmur, secara tidak langsung memunculkan sebuah kebiasaan baru dan kelak menjadi budaya. Seperti kegiatan sedekah bumi ataupun larung saji. Tidak lain berangkat dari kepercayaan yang memposisikan alam sebagai sentra utama dari kehidupan.

Dalam prasasti Tugu juga menjelaskan, bahwa pembangunan Gomati oleh Raja Purnawarman dari Tarumanegara ditujukan untuk kepentingan pertanian masyarakat. Selain dari wujud rasa syukurnya terhadap Sang Pencipta guna menghadapi terjadinya bencana.

Tetapi, persoalan mengenai kegagalan dalam pertanian/gagal panen, juga pernah diungkap pada literasi sejarah Majapahit. Yakni pada masa pemerintahan Brawijaya V, yang menerangkan kondisi masyarakat kala itu tengah terpuruk akibat wabah dan paceklik.

Fakta sejarah ini terdokumentasikan dengan baik dalam berbagai literasi ataupun dari berbagai sumber benda. Baik dalam teknik pengelolaan tanaman, kidung-kidung yang bertemakan alam, hingga doa-doa yang disajikan tatkala melakukan kegiatan pertanian. Semua menjadi satu bagian dari budaya Nusantara yang tidak dapat dipisahkan.

Walau dalam beberapa aspek, doa-doa yang disajikan disesuaikan dengan kepercayaannya masing-masing. Baik pada masa Hindu, Budha, ataupun Islam. Sejatinya adalah sama, yakni meminta kepada Sang Pencipta, agar kemakmuran dapat diberikan melalui hasil pertanian yang melimpah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun