Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenang Matu Mona Sang Pacar Merah

21 Juni 2022   06:00 Diperbarui: 21 Juni 2022   06:04 1057
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Matu Mona dalam Pacar Merah Indonesia/Dokpri. 

Publik mungkin jarang yang mengenal sosok sastrawan-sejarah bernama pena Matu Mona. Seorang sastrawan yang memiliki nama asli Hasbullah Parinduri ini lahir di Medan, tepatnya pada 21 Juni 1910. Dimana publik mengenal karya-karyanya kala itu sangat dekat dengan latar zaman perjuangan.

Ya, ialah Matu Mona, sastrawan lulusan St. Anthony's Boys School Medan pada 1930. Nama Matu Mona ia pakai dari bahasa Mandailing, dan memiliki arti "Yang baru mulai". Sebagai sastrawan yang lahir di masa kolonial, tak sekalipun membuat dirinya gentar dalam menuliskan prosa-prosa atau karya bertema perlawanan.

Menulis berdasarkan fakta sejarah dan kerap "dibumbui" dengan nafas patriotisme atau nasionalisme adalah kesehariannya. Hal ini didasarinya sebagai modal perjuangan yang ia lakukan melalui kata-kata. Matu Mona, adalah sosok dibalik tenarnya nama Tan Malaka. Melalui novel sejarah Pacar Merah Indonesia, ia berkisah tentang perjuangannya.

Fakta perlawanan gerakan radikal "kiri" dan perlawanan golongan nasionalis pada dekade 1930an kepada kaum kolonial, kerap ia tuliskan dalam berbagai kisah. Diantaranya ada Hatta Terpendam (1931), Panggilan Tanah Air (1934), Pacar Merah Indonesia (1934), hingga Moh. Husni Thamrin (1940).

Berbagai profesi juga pernah ia geluti, khususnya dalam hal jurnalisme. Menjadi wartawan di Pewarta Deli (1931-1938), Pemimpin Mingguan Penyebar (1941), Pembantu Panji Pustaka (1943), hingga pendiri koran Perjuangan Rakyat Garut (1946). Serta aktif di dunia seni sejak masa pendudukan Jepang di Indonesia.

Selama masa pendudukan Jepang inilah, aktivitasnya menulis kritis sedikitnya berkurang. Ya, seperti kita ketahui, bahwa pada masa Jepang, segala aktivitas sastra perjuangan dilarang dengan hukuman setimpal. Hingga ia pun pernah dipenjara oleh Jepang di Lapas Sukamiskin, Bandung. 

Selama masa kemerdekaan, ia tidak hanya aktif dibalik meja saja lho. Sebagai seorang gerilyawan, tercatat ia pernah aktif di Badan Divisi Penerangan XII Surakarta pada tahun 1946. Mungkin, sastrawan gerilya, dapat kita sebutkan sebagai "julukan" kepadanya. Matu Mona, dan dapat dikategorikan sekaliber Chairil Anwar.

Walau dalam berbagai pandangan tidak dapat disamaratakan, tetapi sebagai sastrawan pejuang, ia patut mendapatkan apresiasi itu. Tentu, mungkin kita nyaris lupakan kiprahnya. Karangannya dalam Akibat Perang (1950), mungkin hasil dari kegelisahannya melihat realitas perjuangan bangsa Indonesia yang ia tuangkan dalam bentuk tulisan.

Ya, tepat pada hari ini, Matu Mona dilahirkan. Sebagai wujud ungkapan cinta tulisan ini dipersembahkan. Cinta terhadap perjuangan seorang sastrawan, yang tidak pernah lekang oleh zamannya. Semoga dapat menambah referensi sejarah kita semua.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun