Mohon tunggu...
Hendra Fahrizal
Hendra Fahrizal Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Certified Filmmaker and Script Writer.

Hendra Fahrizal, berdomisli di Banda Aceh. IG : @hendra_fahrizal Email : hendrafahrizal@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hikmah Belum Memiliki Anak

3 Juli 2017   14:40 Diperbarui: 3 Juli 2017   14:44 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menjelang lima tahun pernikahan, saya belum juga dianugerahi anak. Tentu membahas soal itu tak ada habisnya, baik dari sisi medik sampai urusan sosial, religi hingga klenik. Saya tak ingin membahas soal itu.

Terkadang, pertanyaan teman-teman saya tanggapi santai, --mungkin karena keterbatasan etika mereka -- walaupun pembicaraan soal itu mestinya sudah boleh menjadi ranah ketidaksopanan sebagaimana hal lain telah diatur untuk tak boleh sembarang ditanyakan, seperti contohnya saat kita bertanya berapa saldo direkeningmu.

Saya ingin bicara soal hikmah. Adakah hikmahnya bila tak memiliki anak, selain merasa menjadi manusia yang belum beruntung.

Dulu saya tak ingin berpikir soal ini, karena saya hanya ingin menghibur diri. Contohnya, bila kita tak memiliki anak, maka kita tak memiliki tanggungjawab apa-apa, karena anak itu adalah titipan. Tak ada sesuatu yang dititipkan, maka berbahagialah untuk diri kita saja. Tak ada beban yang dipikul. Sampai saat itu saya hanya menganggap itu hanya pikiran menghibur diri. Karena itu, pikiran semacam itu tak pernah saya lontarkan dalam pembicaraan diantara teman-teman. Kelihatannya egosentris dan rentan di bully.

Tapi, kini saya tak memungkiri, ternyata, ada beberapa faktor lain, yang membuat saya, ada kejadian lain yang akhirnya saya berpikir memang ada hikmahnya dalam setiap hal yang kita alami, semua itu terjadi beruntun dengan tiga kejadian dalam 2 bulan ini.

Pertama, teman dekat saya meninggal dunia. Turut berduka untuknya dan keluarga. Ia lebih muda setahun dari saya. Berarti ia meninggal di usia 36. Muda sekali. Meninggalkan dua anak yang masih kecil. Saya berpikir, jika Tuhan berkehendak, mana yang lebih indah bila belum punya anak atau kita dipanggil lebih cepat oleh yang maha kuasa? Meninggalkan anak-anak kita yang masih butuh sosok ayah? Bila saya membandingkan, mana yang lebih beruntung bila saya belum punya anak (atau terlambat punya anak) dengan kondisi yang teman saya alami, saya akan berpikir saya lebih beruntung.

Kedua, seorang teman saya sesama pengajar, terkena stroke dan pecah pembuluh darah dikepalanya. Saya turut pula berduka untuk teman saya itu. Saya jadi berpikir, andaipun saya tak memiliki anak karena faktor saya, bukan faktor istri saya, saya lebih beruntung, Tuhan mencabut nikmat tubuh saya tapi saya tak merasakan sakit sebagaimana yang dialami oleh teman saya. Ketika saya menjenguk teman saya, melihat kondisinya yang memilukan, saya berterimakasih Tuhan dengan atas apa yang ia berikan. Ia berikan kesehatan saya untuk masih dapat berbicara, dengan rejekinya. Saya tiba-tiba masih sangat beruntung sebagai manusia.

Ketiga, seorang teman saya bercerai. Ia sudah punya anak perempuan usia 2 tahun. Bila hal ini terjadi, mungkin kita sejenak akan berpikir dan mengintropeksi diri sendiri mengapa kita menikah. Mungkin, ada hal-hal yang belum habis dalam perenungan kita. Apa tujuan menikah? Mungkin ada hal-hal yang harus kita perbaiki dalam pernikahan kita, salah satunya memperbaiki kualitas pernikahan kita. Karena bila kita akhirnya menikah, lalu malah bercerai, untuk apa?

Saya jadi ingat, ketika kecil, guru ngaji saya bercerita, bila kamu merasa tak beruntung dalam hidup, lihatlah kebawah, bagaimana ada orang lebih miskin makan sekali sehari. Bila kamu miskin karena makan sehari sekali, lihatlah kebawah lagi, ada yang cacat tak punya tangan dan kaki. Bila kamu cacat tak punya tangan dan kaki, lihatlah kebawah, ada yang lumpuh sama sekali.

Ketiga kejadian itu beruntun terjadi dalam 2 bulan ini, pada masa menjelang 5 tahun pernikahan, yang dianggap sebagai angka bulat untuk menjadi apatis. Ah, mungkin ini sebuah cara Tuhan menunjukkan kepada saya, bahwa hidupmu masih jauh lebih indah dibandingkan yang lain. Yang punya anak juga bahkan punya bagian kelam dan suram dalam perjalanan hidupnya.

Hingga hari ini, saya tetap masih menjadi lelaki yang beruntung.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun