Mohon tunggu...
Hendra Fahrizal
Hendra Fahrizal Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Certified Filmmaker and Script Writer.

Hendra Fahrizal, berdomisli di Banda Aceh. IG : @hendra_fahrizal Email : hendrafahrizal@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Permainan Hidup

22 Januari 2023   22:17 Diperbarui: 22 Maret 2024   16:44 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Lalu kita harus bagaimana? Apakah kita harus menukar anak kita lagi?" tanya Ucok. Namun ia tahu itu pertanyaan yang tidak memiliki jawaban. Menukar kembali anak yang sudah mereka besarkan dengan kasih sayang dengan cara mereka --walaupun mereka tahu itu bukan anak mereka secara biologis-- itu akan sangat sulit diterima. Memikirkannya pun jauh dari kata sanggup.

"Ini memang sangat rumit pak Ucok," jawab Fauzan singkat. Lalu mereka terdiam. Pertemuan pertama itu diakhiri tanpa resolusi apa-apa.

***

Di penginapan. Dilingkupi suasana sejuk malam di dataran tinggi Samosir, Aisyah meriung ke kursi panjang dimana Fauzan sedang duduk menikmati teh hangat. Wajahnya memandang ke kerlap-kerlip lampu bangunan di seberang danau. Parapat.

"Aku sempat berpikir, bang. Jika kita memilih tetap bersama Nadifa, nanti saat ia menikah, secara agama yang siapa yang menikahkan? Tentu bukan kamu, bang. Juga bukan pak Ucok itu karena ia non-muslim," Aisyah membuka pembicaraan. "Terus bagaimana soal agamanya si Nadifa?"

"Aku sudah konsultasi itu ke ustadz Mahfud, ia sendiri tidak berani menjawab. Takut salah. Ia bilang seumur hidup belum ada pertanyaan serumit ini," jawab Fauzan. "Ada janin. Dari organ kita. Spermaku, sel telurmu. Tapi 9 bulan berbiak di rahim orang, berbagi makanan, menjadi bagian darah dan daging orang itu. Lalu benarnya dia itu anak siapa? Terus agamanya apa? Ikut agama ibu rahim biologisnya, atau agama dari keluarga yang telah mengajarkan ilmu agama lain selama hidupnya?" Fauzan mulai meneguk tehnya lagi. Ada perasaan bingung tersusup pada setiap tegukan teh itu.

"Agama yang kita anut sebenarnya mutlak karena turun dari orang tua sehingga kita harus mengikutinya atau kalau sudah begini kejadiannya agama boleh dipilih-pilih, bang?"

"Ustadz Mahfud saja bingung, apalagi abang?"

"Kenapa ya kita diberi masalah sebesar ini," tutup Aisyah.

***

Nadifa dan Aaron duduk di sebuah kursi menjelang siang. Ini adalah hari ketiga keluarga Fauzan di Samosir. Aaron dan Nadifa diminta menyingkir sejenak sembari kedua pasang orang tua mereka berembuk delapan mata. Aaron lalu mengajak Nadifa melihat sarkofagus, makam batu yang jadi objek wisata sejarah di sana. Letaknya cukup dekat dengan lokasi penginapan keluarga Fauzan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun