Mohon tunggu...
Hendra Fahrizal
Hendra Fahrizal Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Certified Filmmaker and Script Writer.

Hendra Fahrizal, berdomisli di Banda Aceh. IG : @hendra_fahrizal Email : hendrafahrizal@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

71 Tahun Menutup Mata

4 Oktober 2020   17:41 Diperbarui: 4 Oktober 2020   17:46 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Melahap semua kisah tentang pemberontakan di negeri ini, Permesta, PGRS, PRRI, DI/TII, RMS, dll, saya menemukan satu benang merah. Pemicu pemberontakan --walau tidak semua-- terjadi akibat dua hal. Pertama, egoisme Soekarno, ini tak usah dijelaskan lagi karena pernah saya bahas. Satunya lagi, yang ingin saya singgung kali ini, adalah saat negeri ini ditinggalkan oleh Hatta yang "menggugat cerai" dwitunggalnya. Dengan menghilangnya sosok Hatta, perwakilan non-jawa sebagai salah satu pemimpin negeri --termasuk dengan konsep bernegaranya-- membuat sentimen jawasentris muncul dibenak orang Indonesia di luar Jawa. Itulah mengapa sebagian besar pemberontakan terjadi diluar Jawa, kecuali DI/TII yang ideologinya memang berbeda, bukan menggugat ketidakmerataan, tapi ingin mendirikan negara Islam.
Pemicu perceraian Hatta dan Bung Karno dan dampaknya setelah itu mungkin tak pernah disinggung di buku sejarah sekolah. Dari rangkuman berbagai pemberontakan yang saya ikuti, saya melihat berkali-kali usulan penting Bung Hatta untuk menyelamatkan negeri telah diabaikan oleh Soekarno.


Hatta adalah orang yang melihat bahwa negeri maha luas ini tidak mungkin berbentuk Republik. Negeri ini harus berbentuk Federasi, melanjutkan sistem negara Republik Indonesia Serikat (RIS) sesuai amanat KMB. Saat itu Indonesia dipecah menjadi beberapa negara bagian, salah satunya Negara Indonesia Timur. Lagipula, Belanda, yang telah lama berdaulat, tentu punya pertimbangan mengapa Indonesia lebih tepat dibentuk menjadi federasi. Hatta menganalisa, pendeklarasian RMS pada awal 1950 adalah gelagat ketidakpuasan rakyat luar Jawa. Ia pun menarik kesimpulan bahwa negara ini terlalu besar untuk diurus. Pengabaian Soekarno terhadap hal itulah yang membuat pemberontakan terjadi. Menganggap tak bisa melakukan apa-apa lagi, Hatta lalu memilih mundur pada 1956. Saya pun mengutip kata-kata Hatta yang kemudian sangat saya kenang, "Bagi saya yang lama bertengkar dengan Sukarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan fair chance dalam waktu yang layak kepada Presiden Sukarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu akan menjadi suatu sukses atau suatu kegagalan..."
Demikianlah seorang federalis akhirnya mengalah pada egoisme unitaris, suatu kali.


Tapi, teori Hatta tak terjawab lama, tak bisa dikatakan sebuah kebetulan, hanya hitungan minggu, beberapa orang yang kecewa terhadap Soekarno mendeklarasikan PRRI di Bukit Tinggi, disusul Permesta di Sulawesi 90 hari kemudian, dan beruntun disusul pemberontakan-pemberontakan lainnya. Masa pemerintahan Soekarno adalah masa paling banyak terjadi pemberontakan daerah yang ingin melepaskan diri dari Indonesia.
Permesta berdalih, pembangunan gila-gilaan tersentral di Jawa dari duit hasil alam daerah yang hanya dikembalikan 30% ke daerah penghasil, membuat putra daerah menjadi berang.


PRRI, setali tiga uang, dalihnya; pemerataan.


***


Cuplikan sejarah itu terbersit diingatan saat saya dalam perjalanan 7 jam dari Blang Pidie menuju Banda Aceh. Pengalaman di Blang Pidie mengingatkan saya dengan konsep bernegara Bung Hatta. Ada dua kejadian, yang sebenarnya tak penting. Pertama, susahnya mendapatkan solar disana, tak seperti di Banda Aceh. Kendaraan operasional kami kehabisan BBM dan harus menunggu 30 jam baru bisa mendapatkan solar, itupun bisa diperoleh karena kebetulan karena ada relasi dengan pemilik SPBU, apabila tidak, mungkin bisa jadi tak kebagian juga. Kedua, kemarin saya membaca status postingan teman-teman, bahwa Jawa sudah mulai mengalami pemadaman listrik, setelah Kalimantan dan Sumatera sudah kenyang bergelap-gelapan sejak lama. Kalau mati listrik dikaitkan mentoknya kuota BBM jenis solar seperti sekarang ini, sudah bisa dikatakan Indonesia sudah "lampu merah" krisis energi. Krisis energi ini jelas jadi dampak dari pemerintah yang (istilah ibu saya nih) mulai "menggik-mentol" (kepayahan) menata pengendalian energi dan distribusinya dari Sabang sampai Merauke.


Semua solusi yang kita tonton di TV, baca di koran, paling bicara tentang jalan keluar yang tidak fundamen, paling cuma bisa naikin harga (baca: kurangi subsidi), yang itu ibarat orang sakit gigi dikasih minum antalgin, sembuh sebentar terus sakit lagi. Padahal, yang saya ceritakan itu hanya satu dari sekian masalah di negeri ini. Satu masalah kelar, masih ada puluhan masalah lain mengantri.
Negeri kita sudah diberi jalan keluar mujarab sejak 71 tahun lalu, tapi tak pernah digunakan.

(tulisan ini dibuat pada tahun 2014)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun