Mohon tunggu...
Hendra Fahrizal
Hendra Fahrizal Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Certified Filmmaker and Script Writer.

Hendra Fahrizal, berdomisli di Banda Aceh. IG : @hendra_fahrizal Email : hendrafahrizal@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Intrik Lomba Videografi/Fotografi

8 September 2020   16:14 Diperbarui: 8 September 2020   16:14 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Ikut lomba menyenangkan, selain asah kemampuan, untung-untung dapat rejeki. Tapi, jangan sembarang ikut lomba, banyak hal culas yang terjadi pada lomba, baik lomba tingkat regional, ataupun bahkan nasional. Berikut intrik yang patut diketahui.

- Jangan pernah ikut lomba yang hadiahnya lebih kecil daripada operasional yang keluar untuk mengikuti kompetisinya. Contoh, lomba bikin film pendek. Biaya untuk bikin film pendek setelah dihitung adalah 2 juta. Tapi hadiahnya hanya 1,5 juta. Yang bener aja ndro. Perhatikan bahwa dalam operasional akan ada biaya penyusutan dan kecelakaan yang bisa saja mengakibatkan peralatan rusak. Hadiah kecil lebih layak untuk memperlombakan video vlog, yang masih dapat menggunakan kamera ponsel.

- Jangan pernah ikut lomba yang lomba tersebut tidak menyebut/memperkenalkan juri. Lomba tersebut biasanya hanya akan melibatkan juri yang tak kompeten. Yang paling parah, penjurian dilakukan oleh panitia itu sendiri demi menghemat anggaran.

- Kenali juri. Film memiliki banyak genre. Juri berasal dari sekian banyak background. Juri seni tidak sama dengan juri cerdas cermat. Mereka menilai dengan subjectivitas mereka. Contoh, seorang sineas yang didapuk menjadi juri, namun punya background adalah pembuat film thriller, hanya akan menilai film dengan gaya thriller adalah yang terbaik. Juri yang backgroundnya adalah kameraman, akan cenderung menilai soal estetika dibandingkan kerapihan struktur cerita dan dahsyatnya premis. Walau tidak mutlak, itu dapat menjadi pertimbangan.

- Jangan pernah ikut lomba film yang dimana mensyarakatkan hasil karya peserta yang masuk adalah milik panitia. Masih mending karya yang meraih juara menjadi milik panitia. Lha ini. Menang juga tidak, kok karya kita sudah jadi milik orang lain. Pahami redaksional dan hargai hasil kerja keringatmu.

- Hadiah yang fantastis, seperti total hadiah milyaran, sementara lombanya adalah berjenis atau berkriteria mudah, seperti vlog dan video pesan layanan masyarakat, biasanya akan diikuti oleh sangat sangat banyak peserta, misalnya puluhan ribu. Besar kemungkinan, gaya penjurian adalah ber ala-ala program pencari bakat. Tahu bagaimana program pencari bakat menjuri? Nih dicontohin, ada lomba, pesertanya sampai 10 ribu video. Lama penjurian adalah 7 hari. Kemampuan juri melakukan penjurian adalah misalnya 100 video per hari. Berarti selama 7 hari, juri hanya mampu menilai 700 video. Terus sisanya yang 9.300 video gimana?Aad yang tau nggak? Mau nggak juri sampe begadang biar bisa menilai semua. Ya mana mau. Kalau mau pun belum tentu waktunya cukup juga. Nah, acara idol-idolan ya seperti itu. Mereka memiliki asisten juri (beberapa tim) dan juri utama (juri utama adalah yang artis-artis senior itu). Di tahap asisten juri, ada beberapa tim, misalnya 10 tim juri, mereka semua misalnya memiliki kemampuan waktu untuk menilai 1000 peserta dalam hari itu, sementara yang sudah antri diluar gedung ada 10.000 orang. Nah, biasanya, mereka haya meminta 1000 orang pengantri pertama masuk gedung, sisanya yang 9000, disuruh pulang! Makanya ada yang pernah antri dari jam 5 subuh karena mengalami pengalaman tak mengenakkan sebelumnya. Jadi kesimpulannya, sisanya, masuk tong sampah. Jahat kan. Hasil karya lho itu.

- "Hasil penilaian berdasarkan subjektivitas juri." Kalimat ini sering muncul di acara perlombaan. Karena terkadang --selain pertimbangan nilai seni yang telah dijelaskan tadi--, juri juga memiliki faktor beban 'pemerataan' dan ego sektoral. Ketika ada penjurian yang pesertanya seluruh Indonesia, yang jarang juri lihat pasti akan berpeluang menang. Misalnya adat istiadat di Miangas, atau hikayat Smong di Simeulue, atau peninggalan agama Parmalim di Samosir. Juri memenangkan karena baru mengetahui apa yang ditonton, sementara video dari Jakarta, bisa dikesampingkan karena merupakan pemandangan keseharian dari juri-juri ini, padahal video dari Jakarta ini secara premis, struktur, pesan dan estetika sudah sangat bagus. Kemudian ada pemerataan. Kalau ada lomba, juara 1, 2 dan 3, diungguli oleh video dari pulau Jawa. Sudah pasti akan "perekayasaan" agar juara 2 atau 3 nya dapat diatur dimenangkan oleh video kiriman peserta luar Jawa. Kenapa? Pemerataan. Di beberapa tempat, hal ini sensitif, bagi mereka yang melihat jika pemenang sebuah lomba selalu dari ibukota negara, maka peserta daerah lain akan sungkan untuk ikut lagi. Di daerah juga begitu, jika juaranya melulu hanya dari ibukota provinsi, maka peserta ibukota kabupaten akan malas mengirimkan utusan lomba untuk tahun berikutnya karena menganggapnya sia-sia. Panitia, demi mencegah hal itu terjadi, mengubah sedikit skema penilaian, dengan skema "pemerataan". Sementara yang ego sektoral, juri yang asal lahirnya dari daerah A, punya kecenderungan memenangkan video dari daerah A, bila video itu memungkinkan untuk dimenangkan.

Demikian sekilas mengenai intrik dalam perlombaan. Tidak semua lomba mengalami hal seperti ini. Pesannya hanya satu, jika ikut lomba, perhatikan hal ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun