Selepas acara lamaran adik ipar, jam 12 malam, tamu-tamu masih ada yang belum pulang. Mereka adalah sanak saudara yang masih ingin melepas kangen. Mereka mengobrol di halaman depan. Saya --dalam keadaan kantuk-- mendengar sayup pembicaraan mereka.
Mereka bicara soal politik. Khususnya soal bobroknya pemerintahan saat ini.Â
Lama-lama pembicaraan jadi semakin menarik dikupingin. Berikut beberapa informasinya yang tak saya kutip persis benar.
" Nanti pelajaran agama akan dihapus oleh Jokowi."
" Indonesia adalah pertaruhan antara perseteruan Cina dan Amerika, oleh karena itu Cina berlomba merebut lebih dulu dan menempatkan banyak orang disini."
" Nanti, kalau hutang untuk bangun jalan tol tak sanggup dilunasi, akan ditake over oleh Cina. Mereka pegang langsung."
" Syarwan Hamid mengatakan Jokowi adalah pengkhianat bangsa terbesar."
dan lain-lain yang kalau tidak dipastikan salah, tentu saja hal itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Sebagai salah satu orang yang netral dan kontestasi politik, menurut saya suka dan tidak suka dengan satu pasang calon sah-sah saja. Suka Jokowi boleh, tidak juga boleh. Suka Prabowo boleh, tidak suka juga silakan. Tapi, tentu saja, saya setuju kalo ketidaksukaan itu didasarkan pada hal-hal yang logis dan realistis.
Saya melihat, dalam perang politik saat ini, banyak warga masyarakat Indonesia rada nge-bin (sok intel), tapi kapasitas recycle bin. Entah darimana datangnya info-info itu, tiba-tiba jadi pembicaraan hangat, sehangat kopi panas diatas meja.
Saya selalu ingatkan istri saya, dan ia sepertinya kampret sejati, untuk menjatuhkan pilihan karena suka dengan visi misinya, atau tidak menjatuhkan pilihan terhadap satu paslon, juga karena tidak suka dengan kinerjanya. Bukan karena omongan tidak juntrung.
Sebenarnya, dalam konteks Jokowi, banyak hal logis yang bisa dipertanyakan dari sosok ini. Salah satunya penegakan HAM. Jangankan bicara mengungkap kasus HAM atau menyeret pelanggar HAM ke meja hijau, justru orang-orang disekelilingnya adalah orang-orang yang membuat harapan masyarakat atas itu makin lebih tertutup. Saya bertemu seorang praktisi HAM dari Komnas HAM dalam sebuah acara "Dengar Kesaksian" di Banda Aceh, dan jawabannya atas penegakan di era pemerintahan saat ini, " mari kita tambah tahun-tahun kita untuk bersabar."
Begitu juga dengan fasilitas ini itu, yang dipermukaan kesannya bagus, namun begitu banyak daftar syarat dan ketentua berlaku, yang bila kita baca satu persatu, maka kita lebih baik akan berkata, lebih baik tak usahlah ada program itu. Seperti sistem kuota premium, jalan tol, hingga baru-baru kartu untuk para penganggur.
Cerita di pekarangan malam itu, saya yakin terjadi dimana-mana. Â Banyak pekarangan -- dan berikut pohon yang disekitarnya-- menjadi saksi bahwa Jokowi yang berusaha untuk menjabat untuk keduakalinya, dibusuki namanya dari belakang. Hingga saya percaya, bila Jokowi kalah nanti, ia akan kalah pada derasnya hujan hoax yang tak sanggup diterima oleh akal manusia bernalar rendah negeri ini.Â
Saya setuju Jokowi kalah karena kinclong kinerjanya. Saya sepakat Prabowo memimpin karena diyakini lebih mampu dari Jokowi.