Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Sikap atas Berita Buruk

16 April 2013   02:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:08 863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Sudah menjadi suatu yang jamak, jika berkembang anggapan bahwa yang disebut berita adalah berita buruk. Anggapan ini juga hinggap di pikiran para redaktur terutama media massa umumbaik televisi maupun koran. Seolah mendapat semangat baru, jika redaktur menerima berita buruk untuk diwartakan. Karena informasi ini telah berlangsung tahunan dan disuguhkan per menit bahkan per detik dari pelbagai sumber informasi sekitar, masyarakatpun kemudian percaya bahwa yang dimaksud berita itu adalah berita buruk. Sosialisasi telah masuk ke alam bawah sadar. Dan uniknya, berita yang bernada netral sekalipun dapat diplintir menjadi berita buruk untuk menimbulkan sensasi. Demi pemuas dahaga informasi masyarakat.



Coba kita perhatikan: berapa banyak orang yang menonton atau membaca berita tentang jatuhnya pesawat Lion Air dibandingkan dengan berita hasil penemuan situs di Gunung Padang. Berita penangkapan pejabat oleh KPK dibandingkan dengan berita penerimaan penghargaan Adipura di satu kabupaten. Berita pertikaian Adi Bing Slamet dengan Eyang Subur seakan mendapat porsi lebih besar ketimbang berita siswa SMP berprestasi yang memenangkan olimpiade matematika. Berita tentang kecelakaan, pembunuhan, perceraian, huru hara, konflik elit partai, pelaksanaan UN yang gagal lebih diminati ketimbang berita cerita sukses, penemuan teknologi baru, prestasi dan lain-lain.Mungkin saya salah mengklasifikasikan berita yang tadi saya sebutkan sebagai berita buruk, tapi paling tidak bermuatan unsur minor. Saya tidak menyatakan bahwa berita buruk atau berita baik sesuatu yang salah dan benar. Yang ingin saya ungkap adalah, bagaimana cara kita bersikap atas kecendrungan pasar yang demikian.



Bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembentukan opini, saya punya pendapat begini: Tidak terlampau penting untuk mensiarkan berita baik diri sendiri atau organisasi yang diwakili. Lebih penting adalah mencegah dan menutup celah berkembangnya opini tentang berita buruk. Ringkasnya, berita baik tidak penting, lebih penting menutup penyebaran berita buruk. Hal ini berlaku baik dalam pasar ekonomi maupun pasar politik. Bahkan dalam dunia bisnis meyakini bahwa berita baik hanya dapat menyebar ke dua orang, sedangkan berita buruk lebih luas penyebarannya hingga delapan orang. Mengapa? Karena sudah tersosialisasi dan masuk ke alam bawah sadar, posisi masyarakat (baca: pasar) lebih apriori dengan berita baik. Mereka punya anggapan, “tidak ada kecap nomor dua, semua mengklaim diri sebagai kecap nomor satu”. Sikap apriori ini berakibat, masyarakat tidak terlampau peduli dengan berita baik, dan sebaliknya cepat mengafirmasi berita buruk.



Apalagi di bidang politik. Sikap apriori lebih akut lagi. Masyarakat beranggapan bahwa politik itu najis, kotor, dan wajib ditolak. Sikap seperti ini memang semata bukan pengaruh media an sich. Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto selama 32 tahun telah menanamkan pandangan itu. Mengupayakan terciptanya de-politisasi di masyarakat. Dan semakin diperparah dengan prilaku dan kebijakan politisi, pejabat publik serta partai politik yang makin menunjukan bahwa politik itu kotor. Jadi, jika ada upaya untuk melakukan pembentukan opini (yang sering disebut kampanye) baik oleh perorangan maupun partai politik dengan menyatakan bahwa partai dia maha bersih, maha profesional, maha santun, atau paling memperhatikan rakyat, tetap saja disambut dengan sikap apriori. Masyarakat tidak percaya, terutama masyarakat klas menengah perkotaan.



Saran saya: tutuplah celah penyebaran berita buruk. Hanya menutup celah berita buruk ini, kerap kali saya jumpai dengan tindakan yang tidak tepat dan makin memperparah situasi dan memperluas penyebaran opini. Bentuk yang paling banyak adalah melakukan tindakan defensif dan pembelaan diri membabi buta. Cenderung menyalahkan pihak lain, mencari kambing hitam, dan mengalihkan topik memuji diri sendiri. Bagaimana mungkin memberi penjelasan dan klarifikasi kepada pihak lain yang sudah dalam posisi apriori dengan dunia politik. Justru tindakan Diam, lebih memungkinkan penyebaran opini berita buruk tidak akan semakin meluas.



Ada senjata yang paling ampuh untuk meredam berita buruk, yaitu: meminta maaf dan mengakui kesalahan. Nampaknya hal ini sederhana, tetapi dalam text panduan politik di beberapa negara, taktik ini dipergunakan (tak terkecuali di Amerika dan negara-negara Eropa). Lepas dari tindakan meminta maaf ini bersifat tulus atau pura-pura. Awalnya konsep “meminta maaf” dipergunakan dalam upaya penyelesaian konflik di Afrika Selatan. Kekerasan tidak bisa dijawab dengan kekerasan. Lambat laun, konsep ini dipergunakan juga di dunia politik, dalam rangka menutup celah penyebaran berita buruk.



Peristiwa pengakuan 11 orang Kopasus atas penyerangan lapas Cebongan atau mundurnya Andi Malaranggeng sebagai menteri, justru disambut positif oleh masyarakat. Meskipun baru sebatas mengakui kesalahan dan belum mengajukan permintaan maaf, respon masyarakat sudah cukup menutup penyebaran berita buruk semakin meluas. Dan berita berita buruk yang muncul berikutnya, ditangkis bukan oleh pelaku justru oleh masyarakat sendiri. Lihatlah bahwa cara “meminta maaf dan mengakui kesalahan” dapat meluluhkan hati dan pikiran banyak orang. Padahal 11 orang Kopassus itu, belum dinyatakan bersalah oleh sidang pengadilan. Demikian pula dengan Andi Malarangeng, belum ada putusan pengadilan kalau dia bersalah, kenapa harus mundur sebagai Menteri.



Hujatan, makian, kritik, hinaan, kampanye negatif sesuatu yang lumrah di dunia politik di belahan negara manapun. Tidak hanya di Indonesia. Hanya tinggal kecerdasan para politisi dan partai politik mensikapi kenyataan itu. Tindakan defensif, membalas dengan tindakan yang sama, menyalahkan, dan mencari kambing hitam justru makin memperparah situasi. Diam adalah salah satu bentuk respon yang positif. Dan menjadi lebih baik agar menuai simpati, dengan tindakan mengakui kesalahan dan meminta maaf lebih bermartabat. Jika ingin mengikuti sunah Rasulullah hingga pada maqam yang lebih tinggi, yakni mendoakan kebajikan pada musuh-musuhnya. Amin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun