Mohon tunggu...
Hendra Sinurat
Hendra Sinurat Mohon Tunggu... Administrasi - Pengangguran

Mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Simalungun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tentang Doktrin yang Mengekang

15 Agustus 2018   21:40 Diperbarui: 15 Agustus 2018   23:08 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya kira, dalam kehidupan sehari-hari kita memang tidak bisa terlepas dari  doktrin. Doktrin sendiri merupakan bentuk tindakan mengharuskan atau  memaksakan bahwa suatu hal diyakini dan dibenarkan seperti yang  disampaikan. 

Pada dasarnya manusia secara genealogis terikat dengan  doktrin. Dalam artian lain, doktrin itu 'memasung' kemerdekaan berpikir  individu.

Jenis dari doktrin itu sendiri beragam. Secara hierarki,  doktrin itu dapat dikerucutkan atas: doktrin teologis; doktrin politis;  doktrin ideologis dan doktrin filosofis. Doktrin tersebut terekam dan  diyakini melalui 3 'lembaga normatif': Lingkungan-keluarga, Agama dan  Negara.

Hal ini senada dengan pandangan Empirisme dari John Locke  yang menjelaskannya melalui konsep teori tabula rasa, bahwa seseorang manusia lahir  ke dunia tanpa isi mental bawaan; dengan kata lain "kosong" bagai kertas  putih yang bersih, di mana seluruh sumber pengetahuan diperoleh sedikit  demi sedikit melalui pengalaman dan persepsi panca inderanya terhadap  di dunia diluar dirinya dengan terpengaruh melalui 3 lembaga normatif  tersebut.

Itu sebabnya dikatakan bahwa manusia paling suci serta  bersih dari dosa adalah bayi, karena pikirannya masih kosong dan akan  diisi seiring perjalanan usianya.

Hal yang perlu ditegaskan, pada dasarnya doktrin adalah sesuatu yang memiliki nilai  kebenaran yang relatif karena bersifat dependensi terhadap 3 lembaga  normatif. Artinya, doktrin dapat dikemas dan dibingkai sedemikian rupa  berdasarkan pengaruh 3 lembaga normatif tersebut. Contoh doktrin dalam  hal ideologi Negara.

Pada umumnya -- jika negara tersebut tertutup  terhadap dunia internasional -- warga negara tersebut pasti begitu  mengkultuskan ideologi kebangsaannya sekalipun hal tersebut buruk dan konyol serta  menganggap ideologi lain itu tak seagung ideologi negaranya. Pun begitu  sebaliknya pandangan negara lain terhadap terhadap ideologi negara  eksklusif tersebut.

Doktrin di sini bersifat fleksibel dan lentur  tergantung kemampuan subjek yang menerimanya. Doktrin dapat jinak dan  ramah terhadap doktrin lain ataupun menjadi buas dan beringas terhadap  hal yang bersinggungan dengan doktrin lain. Hal tersebut kemudian  menjadi sebuah ironi ketika isi kepala dikuasai oleh doktrin.

Doktrin  yang dipahami secara overdosis ini merupakan patologi yang rasa-rasanya  tidak dapat dihilangkan. Banyak manusia ketika mendapat asupan --yang  tidak dibarengi dengan daya pilah memilah -- dari doktrin secara over- dosis ini, justru mengubah wajah doktrin yang awalnya ramah menjadi buas  atau beringas.

Dengan kata lain, doktrin tersebut menjadi  bersifat destruktif (merusak). Misal, dalam hal doktrin Nasionalisme  yang kadang kala dipahami secara tekstual dan akut hingga menimbulkan pola  pikir chauvinisme atau fasisme. Banyak orang tak mengerti terhadap  esensi nasionalisme terhadap negara serta unsur-unsur pendukung perekat  rasa nasionalisme itu.

Banyak paham yang mereduksi nasionalisme  itu hanya sebatas pada instrumen kedaulatan dan batas wilayah. Padahal  unsur-unsur yang menumbuhkan dan merekatkan rasa nasionalisme itu adalah  rasa keadilan, pemerataan dan kesetaraan maupun persoalan kesejahteraan  masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun