Menjadi "Anak Rantau", bisa jadi sebuah kebutuhan yang tak bisa ditolak. Ataukah itu sebenarnya adalah pilihan yang bisa diterima atau ditolak?
Ia menjadi kebutuhan ketika di daerah tempat tinggalnya tidak tersedia fasilitas sekolah (tempat pendidikan) yang memadai. Sehingga mau tak mau, ia akan pergi meninggalkan tempat asalnya untuk sementara waktu pindah ke tempat yang baru.
Demikian juga dengan lapangan pekerjaan. Tetapi ini ada pembedanya. Seseorang bisa tetap memilih tinggal dan berkarya di daerah asalnya. Atau ia harus juga merantau ke tempat baru. Mencari jenis pekerjaan yang lebih sesuai dengan minat atau pengembangan dirinya. Atau mencari pekerjaan dengan imbalan gaji yang lebih besar ketimbang ia terus menetap di kampung halamannya sendiri. Ada status atau gengsi yang lebih yang diinginkan.
Anak rantau dalam konteks tulisan ini adalah mereka yang selama ini sudah nyaman berada dan tinggal bersama dengan anggota keluarga. Hidup yang menyenangkan karena bisa bersama dan menemani orang tua tercinta. Mendapat perhatian dan dukungan jika ada persoalan menimpa.
Khawatir di Awal
Anak rumahan yang sudah terbiasa merasakan enaknya tinggal bersama orang tua dan  bersama anggota keluarga yang lain, terkadang muncul rasa cemas dan kuatir. Tidak saja bagi dia yang akan pergi jauh dari rumah, tetapi juga keluarga yang akan ditinggalkan.
"Bisa tidak anak yang terbiasa mendapat pelayanan baik di rumah, tetiba harus pergi? Apakah ia akan mampu? Bagaimana jika terjadi apa-apa dengannya; sakit misalnya? Siapa yang akan mengurusi?"
Beragam persoalan riil itu tentunya hal yang wajar saja. Melepas kepergian, setelah sekian puluh tahun hidup bersama. Keluarga dekat pasti akan tahu kemampuan seseorang yang "dipaksa hidup mandiri".
Sisi Positif