Orangtua bukan membantu supaya si anak tetap bisa mandiri walaupun belajar di rumah. Namun si anak malah menggantungkan diri pada orangtua untuk bisa mengerjakan dan menyelesaikan PR tadi.
Klop sudah. Si anak merasa PR-nya lebih susah jika dibandingkan mendapatkan langsung secara PTM. Si orangtua menginginkan anaknya bisa mendapatkan nilai maksimal dan bisa mengikuti pelajaran dengan baik.
Satu dua kali kalau anak benar-benar tak mampu, bisa dimaklumi orangtua membantunya. Kalau terus-terusan, si anak jadi lepas tangan pada tugas yang semestinya menjadi tanggung jawabnya.
 3. Paparan Gadget
Namanya juga daring, penggunaan gadget jadi kewajiban. Mau tak mau anak akan memegangnya sendiri.Â
Kelamaan menggunakan gadget juga tak baik bagi kesehatan mata. Apalagi jika sering diselingi dengan permainan (game). Asyik hingga bisa lupa waktu. Tak jarang karena hal ini, anak usia SD sudah memakai kacamata.
 4. Tugas Menumpuk, Minim Sosialisasi
Ada kalanya dengan PJJ, guru akan memberikan tugas tambahan kepada murid. Harapannya, mereka lebih paham terhadap materi yang disampaikan. Kebanyakan tugas, masa bermain jadi berkurang (karena terkadang juga diminta tolong oleh orang tua agar si anak melakukan sesuatu), membuat anak bisa jadi stres.
Belum lagi karena selama PJJ, anak tak bisa bebas berinteraksi. Bermain di lingkungan rumah pun tak sebebas sebelum masa pandemi. Kebanyakan di rumah, interaksinya secara maya, bisa menjadikan anak lebih sensitif. Tidak peka terhadap lingkungan, jadi lebih pendiam atau kurang bisa percaya diri di kemudian hari.
 5. Pelampiasan Stres
Stres tidak saja bisa dialami oleh anak yang mengikuti PJJ, tapi bisa juga orangtua. Kalau biasanya anak berada di sekolah selama setengah hari, sekarang di rumah terus. Pekerjaan harian yang dilakukan harus menata ulang lagi waktunya.