Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Ketidakadilan dan Ketiadaan Tanggung Jawab, Kitalah yang Membentuknya

11 September 2021   18:00 Diperbarui: 11 September 2021   17:59 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pixabay.com/William Cho

Pada suatu ketika di rumah. Keadaan yang semula tenang, tiba-tiba terjadi pertengkaran kecil antara Kakak dan Adik.

Ortu     :   "Apa ini ribut-ribut?! Sudah, berhenti mainnya. Kakak! Adik!"

Adik     :   "Kamu ini, Kak... (sambil marah dan menangis)"

Ortu     :   "Sudahlah, Kak, kasih mainannya ke Adik. Kakak kan sudah besar, ngalah sedikit sama Adiknya."

Kakak   :   "Tapi aku lho gak salah. Aku tadi diam. Adik yang duluan (cari masalah). Adik kan sudah punya mainan sendiri. Punyaku diambil, terus rusak".

Ada yang bisa membuat narasi lebih bagus, hehe...  Inti ceritanya kalau berada pada posisi orang tua, menginginkan agar kedua anak jangan ribut. Kalau ada masalah, kakak disuruh untuk mengalah saja. Biar gampang, karena adiknya yang lebih kecil belum bisa berpikir yang lebih baik ketimbang si kakak.

Dari sudut pandang si Kakak, ia merasakan ketidakadilan. Ia merasa di pihak yang benar, namun ia justru yang dipersalahkan. Pembelaan dirinya seperti angin lalu, tak dianggap orang tuanya. Si Adik yang punya peranan untuk memulai kegaduhan justru mendapatkan pembelaan.

Dari sudut pandang si Adik, ya tentu senang-senang saja. Ia seperti di atas angin. Faktor ke-muda-annya memberikan "previlege" bahwa ia bisa melakukan apa saja. Toh, nanti yang dipersalahkan bukan dirinya, tapi kakaknya.

Hal yang dianggap baik oleh orang tua berbeda dengan anggapan si anak. Coba bayangkan peristiwa ini akan terus membekas hingga dewasa. Orang yang punya potensi menjadi si Adik akan merasa superior. Meskipun dalam suatu perkara ia bersalah, tapi ia akan berupaya menekan 'lawan' perkara agar menyerah saja.

Memang mungkin ekstrim membandingkan kasus di KPI Pusat tersebut dengan kasus Kakak-Adik seperti ini. Namun, paling tidak pelajaran soal tanggung jawab dan prinsip keadilan bisa diajarkan sedari dini, dimulai dalam lingkup terkecil.

Orang tua perlu menerapkan tindakan yang tidak pilih-pilih alias pilih kasih. Barangkali lebih bijak, misalnya ketika dalam pertengkaran tadi, si Kakak terlalu 'over' pada Adik, ia bisa memberi wejangan yang baik. Adik masih kecil, boleh marah tapi jangan terlalu keras. Adik masih butuh waktu lebih untuk bisa belajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun