Mohon tunggu...
Hendra Doy
Hendra Doy Mohon Tunggu... Guru - Hendra Doy adalah nama pena. Nama asli adalah Paian Tampubolon dilahirkan di Sipahutar, 16 Januari 1966. Pendidikan Dasar dan Menengah Pertama ditempuh di Kampung Halaman. Sekolah Menengah Atas diselesaikan di P. Siantar. Lulus S1 Teologi dari HITS Karawaci, Tangerang.

Hendra Doy seorang yang selalu kritis terhadap perilaku pejabat publik sejak masa ORBA. Selama ini hanya bisa membaca sikap kritisnya dalam tulisan orang lain. Sekarang ingin menulisnya sendiri, dan semoga dibaca orang lain. Hendra Doy tidak berafiliasi dengan organisasi mana pun.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Atribut Agama Marak

18 Juli 2020   01:57 Diperbarui: 18 Juli 2020   02:11 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pertengahan tahun 1980an, di suatu kotamadya di Provinsi Sumatera Utara, saya sering berpapasan dengan seorang pria yang sudah tua. Walaupun kami tinggal di kelurahan yang sama, saya tidak mengenalnya tapi saya tahu dia tiap hari pergi ke "pusat kota" untuk membeli Surat Kabar. Biasanya dia pulang dari "kota" sekitar pukul 4 sore - waktu yang cukup ideal bagi banyak warga di sekitar tempat tinggal saya untuk keluar rumah dan menikmati suasana sore.

Suatu sore, saya mendengar pria tua ini berbincang dengan kenalannya seorang tentara dan dia mengeluhkan kenapa DPR di Jakarta hampir tiap hari 'omongin agama'. "Saya sudah lama mengamati DPR ini dan setiap kali mereka sidang selalu 'ngomong' soal agama. Apakah mereka digaji untuk membahas agama di gedung DPR? Kalau jawabannya YA, kenapa membahas kepentingan agama tertentu saja? Apakah Negara ini mau mereka jadikan Negara Agama?" Begitu keluhan pria tua itu saya dengar. Saya sempat bertanya kepada pak tentara itu siapa pria tua itu. Saya tidak pernah ingat nama pria itu dan juga tidak pernah tau alamat dan pekerjaannya. Namun, saya tidak pernah lupa sikap kritis pria tua itu tentang "AGAMA di DPR" sepanjang hidup saya.

Sejujurnya keluhan pria tua itu tidak mengagetkan saya. Kenapa? Sejak pertengahan tahun 1982 saya tinggal di kotamadya ini untuk melanjutkan pendidikan sekolah menengah atas, saya sudah diperhadapkan dengan 'budaya' yang tidak saya alami dan lihat di kampung halaman saya. Di kota ini saya lihat dan dengar sendiri betapa seseorang begitu mudahnya menyalahkan orang lain yang berbeda agama untuk hal-hal remeh temeh. Sebutan kafir tidak umum pada waktu itu, tapi beberapa stigma karena agama yang berbeda sudah kental.

Stigma yang mereka tempelkan yang tidak masuk akal itu yang sejak interaksi awal dengan mereka pada tahun 1982 itu membuat saya cukup kritis juga. Penghormatan yang cukup berlebihan kepada atribut agama dan minimnya menghargai pihak yang berbeda agama membuat banyak orang sangat agamis namun kurang memahami soal-soal KETUHANAN. Pernyataan pak Wahono ketika beliau menjabat sebagai Ketua MPR/DPR di era ORDE BARU mungkin tepat untuk menggambarkan kontradiksi ini, TIDAK SATUNYA KATA dan PERBUATAN di MASYARAKAT KITA.

Kepatuhan terhadap ajaran AGAMA dicampuraduk dan dianggap sebagai kepatuhan kepada TUHAN. Hal yg lebih buruk lagi adalah kepatuhan kepada ajaran agama yang disampaikan oleh mentor agama dipakai sebagai amunisi mempersekusi penganut agama lain dan menghujat SESEMBAHAN penganut agama lain itu tanpa rasa kritis dan tanpa pengetahuan yang memadai. Sikap seperti ini sudah 'dibudayakan' sejak anak-anak usia pra sekolah. Sayangnya, sulit mengharapkan pengakuan yang bermuara kepada pengampunan, penghormatan terhadap kemanusiaan dan kebebasan sejati.

Penulis artikel "Negara yang Paling Sibuk soal Agama, bahkan sampai Overdosis" ini bertanya, 'kemana ajaran soal CINTA KASIH?' Saya balik bertanya, apakah semua agama mengajarkan CINTA KASIH? Tidak! Di dalam suatu negara di mana mayoritas masyarakatnya menganut agama yang mengajarkan CINTA KASIH pun tidak semua warganya mempraktekkan cinta kasih. Ada banyak kejahatan termasuk pembunuhan sesama terjadi di masyarakat itu. Namun, para kriminal atau mafia itu tidak melakukan kejahatan atau pembunuhan itu untuk dan atas nama PENGUASA LANGIT, PROPHET, KITAB SUCI, dan AGAMA sambil berseru dengan mantra suci.

Tuan AVW banyak membuat pertanyaan dalam artikelnya. Jangankan mempraktekkan apa yang diinginkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, menjawabnya pun tidak mudah bagi mayoritas masyarakat kita yang lebih suka MENDENGAR dari pada MEMBACA. Sayangnya mayoritas kita TIDAK MENDENGAR YANG BENAR. Menarik menyimak video MY ISLAM STORY yang dibuat wanita bule (SS) yang menikah dengan pria Indonesia itu. Wanita bule ini mengaku dia ingin menjadi penganut agama yang taat sesuai dengan ajaran KITAB SUCI agamanya sehingga dia semakin banyak MEMBACA. Dia benar-benar mau melakukan perintah agamanya seperti yang dia baca dalam KITAB SUCI itu, namun, teman-temannya mengatakan wanita bule ini SALAH dan menganjurkan supaya dia sebaiknya 'mendengarkan' arahan mentor agama yang direkomendasikan teman-tamannya.

Pengalaman dan atau testimoni wanita bule ini mungkin bisa menjadi salah satu solusi mengobati "penyakit agama" di negeri ini. Mendorong masyarakat kita semakin banyak MEMBACA atau MENDENGAR YANG BENAR. Internet dan segala informasi yang dibawanya tidak bisa dibendung atau ditutupi dengan teknik kuno: indoktrinasi, hitam-putih, kehormatan atau kemenangan semu, bahkan dengan iming-iming kenikmatan surgawi. Kalau masyarakat kita cenderung lebih senang mendengar, dibutuhkan semakin banyak PEMBERI KABAR YANG BENAR.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun