Ibu sempat mengatakan, kakak dulu ingin punya adik laki-laki. Namun, aku terlahir dalam gender perempuan.Â
***
Kepada segala teka-teki,
Tanah baumu menyengat, mengapa kau biarkan air-air itu tergenang? Apakah perutmu kenyang sehingga ruang tak ada buat sisa air mata langit? Apakah cacing perutmu sudah tidak bekerja lagi, kemana kau leburkan cacing-cacing yang menggeliat di tangan manusia. Tanah, baumu terasa masih kurangkah gelembung sabun untuk membersihkan dirimu? Tanah bersabar ya, hujan ini akan reda. Aku akan menapak dan menunjukkan surga yang dicari-cari di telapak kakiku.
yang kesal,
sudah tidak lagi
***
Kak Alang mengikuti lomba basket. Ia mengajakku untuk menonton di lapangan. Setelah putus dari kekasihnya seminggu kemarin, ia menjadi lebih dekat denganku. Tidak ada curhat atau resah yang diucapkannya. Hanya pertanyaan sederhana yang menanyakan kesediaanku menemaninya atau tidak. Aku hanya penasaran, memberi anggukan dan duduk di deretan ramai yang bersorak-sorai. Timnya kalah, ia merasa gagal. Kepalanya tertunduk sapanjang jalan pulang. Ingin kukatakan bahwa permainannya menyenangkan, sorak-sorai itu menggelegar, bukan saja untuk pemenang. Namun, suaraku urung saat ia memintaku untuk berdiam sepanjang jalan. Apakah akhir dari perjuangan harus dengan kata menang? Yang belum mengang apakah belum berjuang?
"Kak, Kakak hebat"
"Terima kasih"
Aku menutup pintu kamarnya dengan pelan. Suaraku terlalu jauh untuk memberi makna bagi perjuangannya. Bukankah mulut dan hatinya jauh lebih dekat. Sudah sepatutnya mulut kita berbicara pada telinga kita sendiri bahwa kita sudah berhasil menyelesaikan hari ini.