Mohon tunggu...
Helga Evlin Zendrato
Helga Evlin Zendrato Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pecinta Tinta

Berlarilah yang kuat, setidaknya tetap berjalan.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kami Memilih Bersuara

15 Juni 2021   08:00 Diperbarui: 15 Juni 2021   08:30 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Apalah arti usia, bagi orang tuaku tetaplah aku anak. Masa bayiku, remajaku, dewasaku, dan mungkin masa tuaku. Bagi mereka, aku tetaplah anak. 

Keras kepalaku jauh lebih besar dari niat baik mereka. Sebelum lanjut, aku ingin bercerita tentang hubungan yang tidak bisa dipilih. Bukan kalimat rahasia lagi bahwa kita tidak bisa memilih keluarga. Tapi, kita bisa memberikan pilihan untuk keluarga. Rasanya sukar sekali menerima kalau aku sudah berada di usia produktif. Namun, belum semua laku mengidentifikasi kalau aku mengerjakan hal-hal yang produktif, kalau dikatakan sibuk aku mengangguk saja. Orang tua adalah nama yang menggambarkan sosok dewasa, pemberi kasih, memberikan ruang, tetapi tidak selalu mengiyakan, tidak selalu setuju. 

Wajar sih, orang tua punya kacamata sendiri mendefinisikan sukses atau bahagia buat anak. Bagi anak, kacamata sukses dan bahagia belum tentu sama dengan orang tua. Apa lagi yang orang tua dan anak bertumbuh di era yang berbeda. Misalnya orang tuaku, mereka masih menggunakan lampu minyak di masa mudanya. Sedangkan aku, punya penerang sendiri dari gawai yang ajaib. Perbedaan era membuat konflik-konflik yang terurai semakin banyak setiap hari. 

Aku merasa beruntung di masa kecil belum dimanja dengan gawai. Aku sadar di masa sekarang orang tua sangat sibuk dengan pekerjaan, interaksi sosial, narsistik, hobi, dan sebagainya adalah pilihan agar tidak stres di masa pandemi. Aku merasa miris dengan kondisi pertumbuhan anak-anak di masa sekarang. Bagi mereka dunia adalah gawai. Sesederhana itu melihat dunia yang kompleks. Aku mengakui anak sekarang sudah lebih jago dalam berbicara, beradaptasi, dan memperoleh informasi dengan mudah. 

Bagaimana tidak? debatku pada diri sendiri. Coba deh perhatikan, seorang anak yang tidak ingin mandi di pagi hari. Ibunya akan dengan mudah menjanjikan youtube. Seorang anak yang tidak ingin makan, Ibunya pasrah dan membiarkan anaknya menonton youtube sambil makan. Seorang anak yang sulit tidur, diberikan gadget lalu dipaksakan agar tidur setelah menonton. Seorang anak yang terjatuh lalu menangis keras diberikan youtube  agar berhenti menangis. Anehnya, cara ini ampuh buat anak. Aku tidak bisa menyamaratakan semuanya, tetapi bagi sebagian anak ini ampuh. 

Betapa dekatnya anak dengan gadget, tampilan audio dan video yang menarik tak pernah habis untuk ditonton. Di sisi lain, orang tua juga lebih mudah untuk mencapai tujuannya, lebih rileks mengerjakan tugasnya, serta tidak terpicu emosi yang berlebihan. Apakah ini kondisi yang baik? Aku hanyalah anak yang berada di usia produktif yang mengamati zaman yang berbeda denganku. 

Bahkan, perkembangan sekarang, masalah gawai bukan lagi tawaran untuk menawar rasa sakit, rasa malas, rasa bosan si anak. Namun, gawai adalah permintaan yang lebih dulu diminta oleh anak. "Mau youtube" demikian yang saya dengar dari anak usia 2 tahun 9 bulan. Sudah pantaskah anak memanggil Ibu bagi gadget? atau ayah? Aku berharap tidak separah ini. 

Bagi orang tuaku, aku tetaplah anak. Seberapa banyak pun aku menonton layar gawai, aku mengecek status orang lain, aku bermain game online tetaplah aku anak. Bagiku, sebanyak apa pun orang tua membagikan postingan dirinya, atau berusaha menunjukkan sesuatu yang baru, atau mendengarkan lebih banyak keluhan di sosial media, mereka tetaplah orang tua. Bagaimana pun, gawailah yang menyatukan cerita antara aku dan mereka. Di masa pandemi, kami berjarak tetapi tidak lagi. Mungkin, sebagai anak perlu belajar untuk menghargai orang lain karena hal-hal ini tidak bisa diperoleh hanya dengan menatap gawai saja. 

Namun, bagaimana bisa jika yang kusaksikan orang tua juga asik dengan gawainya? Aku perlu belajar memulai kata maaf karena mengabaikan hal-hal penting disekitarku. Namun, mulai dari mana jika maaf tidak pernah kudengarkan saat aku merasa dicurangi atau dibohongi? Aku taunya menonton gawai. Aku perlu belajar peka karena perhatianku lebih banyak dialihkan ke gadget. 

Aku takut  ketinggalan info di gadget karena yang kusaksikan di gadget akan menjadi bahan diskusi saat bertemu orang tua. Lebih baik begini bukan? Kami ingin bercerita tentang kami dan semua orang harus mendengarnya. Kami ingin menunjukkan dekatnya kami, tapi harus semua orang tau. Ini eranya berbeda, caranya beda, harus bisa memberi batas dan ruang yang tepat. 

Jikalau suatu saat nanti, suara anak menjadi sama "maunya..." Di saat itu, pilihan kita yang menentukan akan memberikan apa untuk keluarga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun