Mohon tunggu...
Helga Evlin Zendrato
Helga Evlin Zendrato Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pecinta Tinta

Berlarilah yang kuat, setidaknya tetap berjalan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Rebahkan Lelah hingga Lelap

23 Januari 2020   00:00 Diperbarui: 26 Januari 2020   01:55 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi terlalu lelah. (sumber: monsterstock1 via kompas.com)

Aku berbohong bila sahutku lelah padamu. Tidak pernah langit mendesah lelah menggantung, begitu pun sang mentari tidak pernah mengeluh.

Aku berbohong pula bila sahutku tak lelah padamu. Mataku sudah perih memandangi slide-slide yang kian singgah sebentar di memoriku. Tentu di saat seperti ini sulit menemukan orang yang bersemangat untuk melanjutkan menggendong tas kemudian mengupas tuntas kewajiban. 

"Ayolah, hari ini saja..." serumu memohon tanpa peduli lelah sudah memeluk tubuhku sejak di kelas para intelektual. Selalu cerita-cerita tentang perjalanan hari yang membosankan, rutinitas yang tidak ada akhirnya, hingga satu-satunya yang dirindukan adalah merebahkan lelah.

"Jadi bagaimana?"

"..."

"Aku tunggu"

Tidak ada penolakan di bibirku sekalipun aku mendengar hatiku mendesah tak sanggup untuk merenggangkan otot-otot yang tipis menempel di tulangku. Kuberi isyarat agar kau tidak memohon untuk membuat jadwal dadakan lagi. 

Kutanggalkan kemeja putih, jaket hitam, celana hijau tua, dan flatshoes yang selalu menemaniku berada dalam kumpulan para intelektual.

Kupindahkan botol minum yang tidak pernah bersentuhan dengan sabun cuci hingga seminggu lamanya ke dalam tas yang lebih enteng untuk digendong.

"Bagaimana?"

Engkau tersenyum dan mengayunkan kedua jenjangmu menyapa tangga-tangga yang setengah hari menunggu untuk dilalui. Aku duduk berdiam menunggumu melakukan hal yang sama seperti yang sudah kulakukan. 

Akan tetapi, kau tidak menaggalkan jaket hitam karena yang kamu miliki htidak bewarna sama denganku. Kau mengenakan jaket putih. Aku terserang kaget ketika pintu kamarmu terbuka, dalam hati aku berpikir sangat cepat bagimu untuk bersiap-siap menempuh perjalanan yang telah lama tidak lagi meninggalkan jejak langkah-langkah kita. 

Prasangkaku bahwa yang keluar dari pintu dan tentang kecepatanmu meredup seketika. Seorang wanita berambut acak-acakan meraih sandal jepit dan menuju ke toilet. Ia tentu adalah kakak kamarmu yang merebahkan diri sepanjang hari dan mengalami penurunan kadar ADH. Ini hanya prediksiku memandang penampilannya yang belum siap untuk ditemui banyak orang. 

Hingga pukul 16.15 WIB batang hidungmu tidak juga kutemui, inilah yang membuatku resah dengan jadwal dadakan yang belum tentu akan berlangsung sesuai prediksi awal. 

Aku heran memandang setiap lorong yang dilalui hanya ada kata kelompok yang selalu ditemui. 

Ada kelompok belajar, ada kelompok cerita, ada kelompok yang terpaksa untuk menyelesaikan tugas, ada kelompok pecinta gawai, ada kelompok bersantai, ada kelompok yang seharusnya tidak menjadi kelompok. Layaknya kita membuat kelompok perebah lelah. 

Baju merah melekat ditubuhmu seketika menggambarkan bahwa engkau sangat bersuka memulai hari ini dengan perjalanan yang berujung di SPH. Ada hal yang membuatku kagum darimu sebagai seorang kakak. Tidak jauh dari pandangan positif tentang mengayomi,

"Kamu mau ikut?"

"Kemana?"

"Ke SPH, lari"

"Serius?"

"Ya udah kalau ga mau"

Intelektual yang sedang bercakap-cakap denganmu memandangku dengan ekspresi yang tidak bersahabat. "Kau marah?" tanyanya padaku dengan kalimat sederhana. Aku memandang sisi negatif dari pikiran seorang manusia yang diajak untuk hidup sehat.

"Kalau mau ikut segera, jangan buang waktu" ucapku ketus. Ini memang watak yang tidak dapat kusangkali dalam diriku. Ekspresi datar dan tidak bergairah untuk segala hal, tipikal pemuda yang hanya meladeni hal-hal yang serius untuk dibahas.

Aku pun terheran dengan tekanan waktu yang mampu membuat asam lambungku naik dan terkadang pikiran abnormal. Setelah menunggu 30 menit, itu belum cukup untuk mempersiapkan diri memulai rencana yang tidak jelas akan dimulai saat kapan.

Dengan sendirinya waktu berputar tanpa peduli apakah hal ini terwujud menjadi sesuatu yang nyata atau terwujud jadi mimpi bersama lelap malam yang akan datang.

"Ngapain kakak ajak dia?"

"Biar rame,"

"Lama juga ya!"

"Be patient"

Aku berdebat kecil dengan orang yang setahun empat bulan lebih tua dariku. Seperti biasa akan ada imbalan berupa wejangan-wejangan yang mengingatkanku akan kekanak-kanakan dalam hal menunggu segala sesuatu. 

Lama menunggu wanita yang menerima tawaran itu memperlihatkan diri di balik tembok bercat kuning. Dia sedikit merepotkan dan mengulur waktu hingga kesabaranku putus. Entah lupa sendok, bawa soft lens, dan sengaja ingin menguji hal-hal yang tidak ingin diuji dalam diriku. 

Perjalanan kami tiba dihadapan deretan sepeda lama yang mengungsi tanpa kepastian seorang pemilik. Teringat masa-masa kecil di mana aku dituntun untuk menaiki sepeda, menangis karena lutut lecet, dan hampir ditabrak oleh pengendara motor. 

Ini mimpi sejak pertemuan awal dengan roda dua yang pernah membuatku berjanji untuk menaikinya, sejauh ini belum tercapai. Saat ini pun, hanya niat yang terus diurung hingga tiba waktunya aku mungkin akan naik dengan orang yang menjadi lamunanku saat ini. 

Keluar dari kerumunan para intelek dan melalui para pengendara online yang berbaris rapi di sepanjang jalan, akhirnya aku mampu menarik napas lega. 

Tidak ada korupsi waktu bila kedua jenjangku berada di atas daun-daun kering dan sinar matahari yang ragu-ragu untuk membenamkan diri. Kisah-kisah duka dan suka mengalir dengan penuh gairah dari kedua wanita yang menemaniku menyusur pohon-pohon hijau yang mungkin seusia denganku. 

Terkadang ada kejutan yang tidak pernah terbayangkan akan kutemui, seperti halnya kadal yang mati di trotoar, dosen yang memiliki stamina yang lebih banyak dari anak muda mengejutkan jantungku, atau para pekerja di jalanan yang bersiul-siul ketika menatap ke arah kami yang menghilangkan penat. 

Angin datang dengan selang yang tepat akan mendinginkan keringat yang keluar dari pori-pori tubuhku, kuusap dengan kaos putih yang melekat di tubuhku. 

Kami berdiam sejenak di tempat teduh yang menawarkan suasana sekolah yang mungin kelak memerlukan jiwa-jiwa guru berdiri di depan kelas. 

Tentu tanpa ragu aku akan mengancungkan jariku dan berkata "really?" aku ingin tinggal lebih lama dan melihat jiwa-jiwa yang muda melanjutkan menyusur perjalanan yang telah diberikan oleh Tuhan, tanpa merindukan rebahan di kasur yang membuat mata terkantuk dan terlelap. 

Aku menemukan matahari bersembunyi di balik pohon-pohon yang tinggi, mengintipku di antara rumah-rumah mewah berpagar beton. Jiwa muda kami bergelora, menduduki bukit dan melepaskan resah. Jepretan-jepretan tak membuat mata berhenti menggeser layar gawai. Ada kesejukan yang bisa menjadi cerita. 

Malu-malu bergaya, tersenyum bahagia, dan berdoa agar kemustahilan menjadi sesuatu yang tidak mustahil lagi. Aku duduk, melompat, berdiri, dan sesekali memastikan pose terbaik telah direkam oleh memori terbatas buatan manusia.

Di antara potret-potret yang belum terjamin abadi, ada jiwa abadi yang pernah merebahkan lelah di langkah menuju jiwa yang sehat. 

Kutebarkan senyum memandang hijau yang terbentang. Membuatku sejenak istrahat dalam lelap yang tak terduga, tentang perjalanan yang melelahkan dengan kisah yang tak mampu untuk disangkal.

Aku pernah memegang awan, bersandar pada mentari, menendang angin, memeluk senja, dan menyentuh langit. Jiwaku merebah dalam ucapan yang tidak pernah akan kuucap kepada manusia yang kupandang, karena hanya pencipta yang membuatku merebahkan lelah hingga terlelap.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun