Intelektual yang sedang bercakap-cakap denganmu memandangku dengan ekspresi yang tidak bersahabat. "Kau marah?" tanyanya padaku dengan kalimat sederhana. Aku memandang sisi negatif dari pikiran seorang manusia yang diajak untuk hidup sehat.
"Kalau mau ikut segera, jangan buang waktu" ucapku ketus. Ini memang watak yang tidak dapat kusangkali dalam diriku. Ekspresi datar dan tidak bergairah untuk segala hal, tipikal pemuda yang hanya meladeni hal-hal yang serius untuk dibahas.
Aku pun terheran dengan tekanan waktu yang mampu membuat asam lambungku naik dan terkadang pikiran abnormal. Setelah menunggu 30 menit, itu belum cukup untuk mempersiapkan diri memulai rencana yang tidak jelas akan dimulai saat kapan.
Dengan sendirinya waktu berputar tanpa peduli apakah hal ini terwujud menjadi sesuatu yang nyata atau terwujud jadi mimpi bersama lelap malam yang akan datang.
"Ngapain kakak ajak dia?"
"Biar rame,"
"Lama juga ya!"
"Be patient"
Aku berdebat kecil dengan orang yang setahun empat bulan lebih tua dariku. Seperti biasa akan ada imbalan berupa wejangan-wejangan yang mengingatkanku akan kekanak-kanakan dalam hal menunggu segala sesuatu.Â
Lama menunggu wanita yang menerima tawaran itu memperlihatkan diri di balik tembok bercat kuning. Dia sedikit merepotkan dan mengulur waktu hingga kesabaranku putus. Entah lupa sendok, bawa soft lens, dan sengaja ingin menguji hal-hal yang tidak ingin diuji dalam diriku.Â
Perjalanan kami tiba dihadapan deretan sepeda lama yang mengungsi tanpa kepastian seorang pemilik. Teringat masa-masa kecil di mana aku dituntun untuk menaiki sepeda, menangis karena lutut lecet, dan hampir ditabrak oleh pengendara motor.Â