Mohon tunggu...
Helenerius Ajo Leda
Helenerius Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - Freedom

Borjuis Mini dan Buruh Separuh Hati

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Seksisme dan Kekerasan Seksual di Flores

14 Februari 2020   11:15 Diperbarui: 14 Februari 2020   11:23 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Patriarki sebagai sistem sosial yang memprivilesekan para laki-laki dengan mengorbankan kaum perempuan. Dalam budaya patriarki, kaum laki-laki memegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran-peran kepemimpinan politik, privilese sosial, menguasai properti dengan secara spesifik menyingkirkan sebagian besar perempuan. 

Di Flores, feodalisme dan patriarki yang masih bercokol telah memberikan sumbasih bagi tumbuh suburnya praktek-praktek penindasan dan penyingkiran terhadap perempuan di segala sektor. Di Nagekeo misalnya, kepemilikan tanah (tana watu), rumah adat (sa'o waja/sa'o pu'u), hak atas harta warisan selalu dikuasai dan dikontrol oleh laki-laki (mosalaki). Dan disetiap upacara ritual adat (buku gua) kaum laki-laki lah yang lebih berperan. 

Para tuan tanah  (mosalaki feodal) di Flores, selain memiliki kuasa dan kontrol terhadap tanah dan budak sebagai faktor produksi, juga memiliki kontrol atas tubuh perempuan. Misalnya di Boawae-Nagekeo, sebagai simbol kekuasaan seorang bangsawan (mosalaki) lokal adalah harus memiliki istri (fai) dalam jumlah yang banyak. 

Praktek budaya feodal dan patriarki yang saling dalam berpaut itu,  membuat laki-laki lah berada pada kedudukan yang dominan/ordinat sedangkan perempuan subordinat. Kondisi semacam ini menyebabkan ketimpangan relasi kekuasaan di ranah personal maupun di ranah publik. Perempuan menjadi objek yang senantiasa di kontrol, dieksploitasi tenaga dan tubuhnya. Keadaan inilah membuat perempuan seringkali mengalami dikriminasi dan kekerasan dalam segala hal, termaksuk diskriminasi seksual. 

Dalam budaya feodal-patriarki ketimpangan kekuasaan yang menyebabkan dikriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, justru terus dilanggekan dan dilegitimasi oleh sistem sosial dan sistem nilai masyarakat.  Misalnya, kejahatan seksual yang sulit diungkap dan ditangani kerena sering dikaitkan dengan konsep moralitas dan sistem nilai masayrakat. 

Perempuan dianggap sebagai simbol kesucuan dan kehormatan, karenanya ia kemudian dipandang menjadi aib ketika mengalami kekerasan seksual. Seperti yang terjadi di Sikka-Maumere, para penyitas/korban kekerasan seksual di usir dari kampung halamannya oleh warga kampung dimana mereka tinggal. Pengusiran terhadap korban di sinyalir takut akan aib yang akan dialami oleh warga (Florespos, 31 Januari 2020). Korban/penyintas juga sering disalahkan sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual, inilah yang membuat korban seringkali bungkam. 

Lantas bagaimana jalan keluar untuk menghancurkan seksime, termasuk kejahatan seksual? Tentu kita harus menempatkan seksisme dan praktek kejahatan seksual sebagai persoalan sistemik dan struktural yang diakibatkan oleh sistem feodalisme dan patriarki yang terus dilanggengkan hingga saat ini dalam organisasi-organisasi sosial kemasyarakat.

Maraknya kasus kekerasan seksual yang terus terjadi, bukan karena pelakunya berwak bejat, tidak bermoral, tidak beriman, tapi lebih desebabkan oleh struktur sosial kemasyarakatan kita yang terus memproduksi dan mereproduksi aktor-aktor seksis. Dengan demikian persoalan kejahan seksual dalam bentuk apapun tidak terlepas dari tatanan masyarakat yang melanggengkan seksisme. Seksisme telah menjadi sistem berpikir yang mengendap dalam berankas memori kolektif. Budaya feodal dan patriarki yang menyejarah dalam peradaban masyarakat kita menjadi sistem sosial yang mengatur sistem hidup bersama dari orang-orang atau kelompok orang yang didalamya. 

Dengan menempatkan seksisme dan praktek kejahatan seksual sebagai persoalan sistemik dan struktural maka implikasinya adalah dengan membangun gerakan sosial politik, yang melibatkan seluruh seluruh komponen. Gerakan sosial politik diarahkan untuk membangun kesadaran kolektif publik, bahwa kasus kekerasan seksual yang terus terjadi menunjukan predikat kemanusian kian bangkrut ke titik nadir, telah terjadinya proses penghianatan terhadap eksistensi kemanusiaan. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun