Mohon tunggu...
Helenerius Ajo Leda
Helenerius Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - Freedom

Borjuis Mini dan Buruh Separuh Hati

Selanjutnya

Tutup

Politik

Korupsi Fantanstis di Republik Oligarki

23 Agustus 2019   17:37 Diperbarui: 10 Oktober 2019   17:32 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hent Ajo Leda

Alumnus Ilmu Pemerintahan STPMD Yogyakarta

 

Menjelang pemilu 2019, fenomena korupsi terus dipertontonkan oleh aparatus negara. Rangkain OTT terhadap pejabat negara bak gayung bersambut. Kasus jual beli jabatan di Kementrian Agama yang menyeret sejumlah petinggi partai politik dan pejabat negara, terkuaknya praktek suap untuk tujuan money politic anggota DPR dan beberapa skandal politik busuk lainnya, memperlihatkan bahwa korupsi menjadi momok yang terus bergentayangan. Banyak kalangan miris kalau korupsi sudah menjadi semacam budaya (culture) dalam tapak perjalanan penyelenggaraan negara di republik ini dari waktu-ke waktu.

Persoalan korupsi senantiasa menjadi fenomena yang selalu aktual dan up to date. Praktek-praktek korupsi dengan berbagai modus operandinya telah dan terus menggeliat baik di level nasional maupun di daerah. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan, sepanjang tahun 2018 terdapat 454 penindakan kasus korupsi terhadap 1.087 tersangka, dengan jumlah kerugian negara mencapai 5,6 triliun. Sekitar 89 % kasus korupsi terjadi di pemerintahan daerah yakni di tingkat provinsi, kabupaten kota, dan desa (ICW, 2018). Tak aneh memang jika korupsi telah menjadi bahaya laten yang terus menggurita.

Data survei ICW juga mengungkapkan, sektor-sektor yang paling laris untuk dikorupsi adalah, sektor anggaran desa, sektor pemerintahan, sektor pendidikan, sektor transportasi, sektor kesehatan. Sedangkan modus korupsi terbanyak yaitu mark up, penyalahgunaan anggaran, penggelapan, laporan fiktif, suap, kegiatan/proyek fiktif, pungutan liar, penyalahgunaan wewenang, penyunatan/pemotongan, gratifikasi, pemerasan, anggaran ganda, mark down. Aktor-aktor yang gemar korupsi paling banyak menyeret aparatur sipil (ASN), swasta, DPR/D, kelapa desa, BUMN/D, aparatur desa, kepala sekolah (ICW, 2018).

Data-data diatas hanyalah sekelumit fakta yang terekam, dan mungkin masih banyak fakta skandal korupsi lainnya yang belum terungkap. Akan tetapi, terhadap fakta skandal korupsi diatas, kita dapat menyaksikan bahwa lembaga-lembaga negara dan pemerintahan semacam "rumah" yang senantiasa memproduksi dan mereproduksi koruptor-koruptor baru. Fakta korupsi laksana pertunjukan kolosal. Dari waktu-kewaktu, dari hari-ke hari kita di pertontokan oleh praktik politik predatoris secara membabi buta.

Terhadap masalah ini, lantas pertanyaannya adalah, mengapa fenomena korupsi terus mengeliat menyeret sejumlah penguasa dan apararus negara, baik di level nasional maupun di daerah?.

Mungkin untuk menjawab masalah ini, kita harus melihatnya secara ekonomi politik dengan melihat relasi antara kapital/modal dan kekuasaan yang meregulasi struktrur negara. Negara dalam kaca mata ekonomi politik, ditempatkan sebagai komite borjuasi atau fasilitator bagi berjalanya akumulasi kapital. Karena itu, poisi, sikap dan kesadaran para aparatus negara selalu ditentukan oleh relasi mereka dengan kapital/modal dan kekuasaan dalam struktur komite borjuasi tersebut.

Secara ekonomi politik, persoalan korupsi bermuara dan berakar dari tatanan masyarakat berkelas. Dalam tatanan masyarakat berkelas, relasi kekuasaan antara masyarakat ada yang memiliki posisi yang lebih tinggi/ordinat/lebih berkuasa dan ada posisi yang rendah/subordinat atau tidak memiliki kuasa. Saat ini, saat dimana tatanan struktur masyarakat dikuasai oleh para oligarki kapitalistik yang melegitimasi kelas kapitalis/borjuis untuk menindas kelas sosial lainnya dengan merampok nilai lebih dan sumber daya negara untuk kepentingan mereka. Sehingga dengan didukung oleh kekayaan material yang berlimpah dan jejaring kekuasaan yang kuat, para oligarki kapitalistik ini menjadi kekuatan dominan di tingkat nasional maupun lokal.

Di indonesia, seperti yang di jelaskan oleh (Robison dan Hadiz, 2004), sejak orde baru berkuasa, struktur kekuasaan negara sudah didesain sedemikian rupa sebagai instrumen buat borjuasi nasional maupun internasional menggeruk sumber daya negara untuk kepentingan kroni-kroninya. Jejaring oligarki politik yang dibangun Soeharto terdiri dari anggota militer, pengusaha cina, beberapa pengusaha pribumi, sekaligus membangun kerajaan bisnis yang kelola oleh kroni dan anakanaknya. Dengan menguasai jejaring oligarki ini, model kebijakan pembangunan orde baru hanya menguntungkan sebagian kecil kelompok masyarakat dan lebih banyak menyengsarakan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun