Mohon tunggu...
Helen Adelina
Helen Adelina Mohon Tunggu... Insinyur - Passionate Learner

Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value - Einstein

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pemulung Tua di Ujung Penantian

5 Mei 2021   16:51 Diperbarui: 5 Mei 2021   16:54 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: tribunnews.com

Perempuan tua itu berjalan tertatih-tatih menapaki trotoar yang panas sambil membawa karung plastik usang dibahunya. Cuaca yang panas seakan-akan melepuhkan kulitnya. Ingin sekali rasanya dia menangis karena rasa panas trotoar itu di kaki-kakinya yang telanjang. Keringat bercucuran deras dari wajah dan tubuhnya. Tapi dia kuatkan dirinya, dia tidak boleh patah semangat. Kalaupun dia menangis, siapa yang mau mendengarkan tangisnya? Apakah para pengendara mobil dan motor di jalan ini mau menepi untuk sekedar bertanya keadaannya? Mustahil, pikirnya. Yang mereka pikirkan hanyalah bagimana sampai di tujuan dengan cepat. Atau orang-orang yang berlalu lalang di trotoar ini? Sama saja. Mereka juga sama tak pedulinya. Mereka selalu tergesa-gesa. Pikiran mereka hanya tertuju bagaimana masuk ke MRT ataupun bus dengan cepat.

Dipandangi jalan di hadapannya dengan matanya yang sudah mulai rabun. Masih 500 meter berjalan supaya dia bisa menyebrang di penyeberangan lampu merah. Rasanya kaki sudah mau copot setelah seharian berjalan dengan hasil tak seberapa. Akhirnya dia memutuskan untuk duduk di bangku yang ada di trotoar. Diregangkannya kaki dan tangannya. Untungnya ada beberapa pohon di depan bangku ini yang memberikan keteduhan dari sengatan matahari.

“Ah, akhirnya”, batinnya. Sekarang sudah mulai musim kemarau. Mungkin sebaiknya dia membeli sandal agar kakinya tak terbakar panasnya trotoar. Tapi dari pengalamannya, sandal-sandal itu cepat usang dimakan jalan dan dia harus sering-sering menggantinya. Padahal penghasilan dari memulung tak seberapa. Ditambah masa pandemi begini, hanya sedikit orang yang ke luar rumah. Tidak banyak botol-botol yang dia dapatkan di sepanjang jalan. Rumah-rumah juga menutup pintu baginya. Padahal sebelumnya, ada beberapa rumah orang kaya yang dia datangi setiap sebulan sekali untuk mengambil barang-barang dan botol-botol bekas.

Tiba-tiba dia teringat kampung halaman yang sudah lama dia tinggalkan. Kalaupun dia kembali, mungkin dia sudah lupa di mana rumah orangtuanya dulu. Entah sudah berapa lama dia merantau ke Jakarta dan tidak pulang kampung. Dan masa pandemi ini mengingatkannya pada masa panceklik di desanya dulu. Kekeringan panjang yang menyebabkan gagal panen. Anak-anak menangis kelaparan. Mau tak mau, dia dan teman-teman sebayanya beramai-ramai meninggalkan desa mencari pekerjaan di kota. Dia tidak tahu bagaimana wajah desanya sekarang.

Dibukanya karung plastik bututnya. Hanya setengah karung yang terisi dengan botol-botol air kemasan. Tadinya dia ingin mengorek-ngorek tong sampah di sepanjang ruas jalan di wilayah perkantoran ini, sambil menuju perumahan padat yang ada di balik gedung kantor. Tapi tatapan tajam penjaga keamanan yang berjaga di depan pintu gerbang gedung-gedung kantor di sepanjang jalan, membuatnya mengurungkan niat. Dia takut kalau-kalau dia dikira akan mencuri sesuatu.

Rasa perih di perut dan haus di kerongkongan menghampirinya sekarang. Kalau bagi orang-orang lain, puasa adalah hal yang istimewa karena dilakukan setahun sekali. Baginya dan orang-orang sepertinya, puasa adalah suatu hal yang lumrah karena makanan tidak selalu dapat terbeli setiap hari. Sinar matahari masih menyegat, pikirnya. Masih ada 4 jam lagi sebelum berbuka. Setelah matahari dirasanya tidak seterik tadi, dia melanjutkan perjalanan menuju perumahan padat di belakang gedung perkantoran.

Dia berjalan menyusuri jalan-jalan kecil yang rumah-rumahnya banyak dijadikan kost-kostan, mengais-ngais bak sampah. Siapa tahu ada botol-botol bekas dan kardus-kardus yang dibuang, pikirnya. Didapatinya beberapa botol-botol bekas dan wadah makanan plastik bekas yang berbaur dengan sampah makanan yang menggunung di bak sampah. Dibersihkannya kotoran-kotoran yang melekat pada botol-botol bekas dan wadah plastik tadi. Sekarang karung plastik bututnya sudah hampir penuh.

Matahari sudah condong ke barat. Semburat kekuningan sudah mulai tampak di awan. Dalam perjalanan, dilihatnya orang-orang ramai mengantri membeli makanan untuk berbuka. Dia haus dan lapar, tapi tak punya uang untuk membeli makanan dan minuman. Kalau besok dia menjual hasil memulungnya, dia pasti akan punya uang untuk membeli makanan. Ingin rasanya dia meminta sedikit makanan dan minuman dari para pembeli. Tapi dia ingatkan dirinya sendiri, dia bukan pengemis. Sejak ditangkapnya pengemis kaya oleh Suku Dinas Sosial beberapa waktu lalu, pandangan masyarakat terhadap orang-orang seperti dirinya semakin sinis. Padahal bagi dirinya, dia masih punya harga diri untuk tidak mengemis. Walaupun memulung hanya memberikan hasil yang pas-pasan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, baginya itu cukup.

Rasa perih di perut semakin tajam, meronta-ronta minta diisi. Dengan kepala tertunduk, ditelannya harga dirinya. Dia memberanikan diri mendekati kerumunan orang-orang yang membeli, berharap barangkali ada satu dua orang yang mau memberikannya makanan. Sayangnya harapannya kandas. Saat dia mendekat, semua orang menutup hidung mereka. Bau tubuhnya yang menyengat antara bau keringat dan bau sampah, membuat orang-orang merasa tidak nyaman. Bukan makanan yang dia dapatkan, yang ada justru pengusiran. Kehadirannya tidak diharapkan di sini, di tengah-tengah antrian orang-orang kantoran yang berbaju rapi. Bedug berbuka sudah berbunyi. Di mana dia bisa mendapatkan makanan? Dia teringat saat memulung tadi, masih ada banyak sisa makanan di kotak-kotak makanan yang terbuat kertas. Dia pun kembali ke tempat tadi. Mengorek kembali bak sampah untuk mengambil makanan sisa yang masih bisa dimakan. Diendusnya makanan itu. Masih bagus, pikirnya.

Dikumpulkannya beberapa kotak makanan bekas tadi untuk dimakan nanti saat tiba di gubuknya. Lalu disimpannya di bagian atas karung plastik bututnya. Dia lalu berpikir mungkin dia bisa mendapatkan air untuk diminum di masjid. Sampai di depan masjid, dia menunggu di samping pintu masuk. Tak berapa lama kemudian, seorang anak remaja memberinya minuman dan takjil untuk berbuka. “Terima kasih banyak, nak”. Dia pun berbuka di depan masjid. Senang rasanya bisa menikmati makanan yang lezat dan minuman yang segar.  Dia berdoa mengucap syukur dia bisa makan hari ini dan ada makanan sisa untuk nanti dimakan. Penantiannya hari ini tidak sia-sia. Dia tidak kelaparan hari ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun