Mohon tunggu...
Helen Adelina
Helen Adelina Mohon Tunggu... Insinyur - Passionate Learner

Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value - Einstein

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Laki-Laki yang Berziarah ke Makamnya Sendiri

25 April 2021   16:17 Diperbarui: 25 April 2021   18:24 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: Pikiran Rakyat

Laki-laki tua itu berdiri di depan makam yang nisannya bertuliskan namanya sendiri. Dia terpaku cukup lama. Dilihatnya batu nisan itu sudah kusam penuh debu dan lumut. Rumput-rumpur liar tumbuh tinggi menutupi makamnya. Entah berapa lama makam ini tidak dirawat. Kemana anak-anaknya? Apakah mereka sudah lupa bahwa makamnya perlu dibersihkan? Atau mereka terlalu sibuk tak punya waktu hanya untuk sekedar berziarah?

Dialihkannya pandangan ke makam-makam di sekitarnya. Ada beberapa yang baru saja dibersihkan dan dihiasi bunga berwarna warni. Di sisi kanan, beberapa pengunjung berziarah ke makam sanak keluarga. Di pintu makam, beberapa barisan orang sedang berjalan sambil membawa bunga untuk ditabur. Dua makam dari makamnya sendiri, dia melihat seorang laki-laki tua menangis dalam diam. Tak ada kata yang terucap dari mulutnya, hanya air mata yang membasahi wajahnya. Mengapa laki-laki itu menangis? Apa yang dia tangisi?

Tepat di sebelah kirinya, seorang perempuan merebahkan diri di atas pusara. Dia menangis pilu menyanyat seperti sembilu. Lelaki tua itu mengamati dengan seksama. Tak pernah dia mendengar tangisan yang begitu menyanyat hati. Lama perempuan itu menangis, seolah-olah sungai air mata di dalam dirinya tak bisa lagi dibendung. Seolah-olah di pemakaman itu hanya ada dirinya dan si pemilik makam. Ingin rasanya lelaki tua melihat nama si pemilik makam. Namun dia tidak ingin menggangu perempuan itu.

Sambil menangis, perempuan itu berkata lirih. “Mama, mengapa mama tidak mencintaiku? Mengapa mama selalu memilih anak-anak lain dan bukan aku? Mengapa mama tidak pernah ada untukku? Mengapa mama tidak pernah membelaku saat aku dipukuli?  Apa salahku pada mama?. Aku selalu berusaha melakukan apa saja untuk mama. Selalu membantu mama, bahkan rela diperlakukan seperti pembantu. Tapi mengapa mama tak bisa mencintaiku. Mama bahkan tak pernah memelukku. Apakah mama begitu membenciku? Apakah mama tak menginginkan aku?”. Setelah itu, perempuan itu terdiam, tapi masih menangis sesegukan.

Tak ada yang dilakukan laki-laki tua. Sebenarnya dia ingin sekali menenangkan perempuan itu. Tapi dia sadar, sebagai orang tua, dia pun telah gagal memainkan perannya. Dia tidak dekat dengan anak-anaknya. 

Hampir seluruh hidupnya dihabiskannya untuk bekerja. Berangkat di waktu subuh dan pulang larut malam. Tidak ada waktu untuk istri dan anak-anaknya. Dan saat akhir pekan pun dia sibuk membuat rencana kerja, target yang harus dicapai, dan lainnya. 

Kalau ada anak-anaknya yang masuk ke ruang kerjanya, dia pasti marah. Menurutnya kehadiran anak-anak di ruang kerja hanya mengganggu. Tak jarang akhir pekan pun dihabiskannya di kantor.

Kepribadiannya yang perfeksionis hanya menambah runyam saat anak-anaknya bertumbuh besar. Baginya nilai rapor dan prestasi anak adalah segalanya. Betapa seringnya dia memarahi anaknya, bahkan menghukum tidak memberi uang jajan kalau nilai anak-anaknya jelek. Hanya istrinya yang berusaha menghibur anak-anaknya. Saat anak-anak tamat SMA pun, dia juga memaksa anak-anaknya kuliah di jurusan yang prestise baginya.

Anak pertama laki-laki, dipaksanya masuk kuliah bisnis agar kelak dapat menggantikannya meneruskan perusahaannya. Padahal Bagus punya minat besar di bidang seni. Melukis adalah passion-nya. Tapi dia tetap memaksa. Semua fasilitas untuk kuliah dia sediakan, termasuk membelikan mobil dan rumah. Sayangnya, Bagus tidak mampu mengikuti kuliahnya hingga selesai, malah terjerumus pada hal-hal negatif merusak diri dan hampir mati.

Anak keduanya, Indah, juga dipaksanya menjadi dokter. Baginya, dokter adalah profesi yang prestise di masyarakat. Tidak dihiraukannya bahwa Indah takut melihat darah dan lebih senang berada bersama anak-anak kecil. Indah yang kreatif dan sensitif, ingin mengajar anak-anak kecil. Dan si bungsu, Bayu, juga tak kalah tragis. 

Dipaksanya Bayu untuk kuliah di bidang keuangan agar membantunya mengembangkan strategi bisnis perusahaan bersama dengan anak sulungnya. Bayu pun lebih senang membong-bongkar mesin sejak kecil, mulai dari jam tangan, kalkulator, televisi dan radio rusak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun