Mohon tunggu...
Helen Adelina
Helen Adelina Mohon Tunggu... Insinyur - Passionate Learner

Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value - Einstein

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kegundahan Seorang Penyair Tua

17 April 2021   17:00 Diperbarui: 17 April 2021   17:05 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penyair tua itu duduk termenung di kursi tua tempat dia biasanya menghabiskan waktu untuk menulis. Di hadapannya, ada sebuah meja besar dengan tumpukan kertas di atasnya. Sebuah lukisan usang menggantung di dinding. Sengaja dia membuka jendela lebar-lebar malam itu walaupun anak bungsunya melarangnya.

“Pak, jendelanya di tutup saja. Dingin pak, nanti bapak masuk angin. Banyak nyamuk juga”, kata si anak bungsu. Namun si penyair tidak menghiraukan. Sejak istrinya meninggal dunia tiga tahun lalu, anak bungsunyalah yang menjaganya. Yang memasak untuknya dan merawat bunga-bunga peninggalan istrinya. Walaupun si bungsu terkesan cerewet dan masakannya tidak seenak istrinya, baginya tak apa. Toh dia tidak sendirian, ada yang merawat.

Dia menyesap kopi yang baru saja dibuatkan anak bungsunya. Melihat bapaknya termenung di kursinya tadi, si bungsu tidak berkata apa-apa. Tidak juga soal jendela yang masih saja terbuka. Sudah hal biasa baginya melihat sang ayah yang tampak gundah., entah apa yang ada di benak sang ayah. Sudah beberapa kali dia berusaha mengajak ayahnya bicara, namun ayahnya hanya diam. Mungkin kepergian ibu berat bagi ayah, pikirnya. Selama hampir 45 tahun mereka selalu bersama. Dia tinggalkan ayahnya sendirian.

Si penyair tua kemudian mengambil tumpukan kertas di atas meja dan membacanya satu-persatu. Dia heran mengapa orang-orang masih saja meminta pendapatnya untuk menilai mana karya puisi terbaik. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia tidak pernah setuju dengan lomba apapun terkait tulis menulis. Baginya apa yang perlu diperlombakan? Toh urusan tulis menulis ini adalah urusan perjalanan batin anak manusia. Dan siapa yang berhak menghakimi perjalanan batin orang lain, yang ini bagus atau yang itu buruk. Siapa yang tahu apa yang dialami masing-masing orang dalam perjalanan batin itu? Dia bukan Tuhan yang berhak menghakimi.

Namun si penyair tua tidak ingin mengecewakan kumpulan penyair yang usianya lebih muda darinya, yang menjadi panitia acara ini. Dia menghargai niat tulus penyair-penyair ini untuk menumbuhkan minat terhadap puisi dan menemukan penyair-penyair berbakat. Nah, ini satu hal lagi yang dia benci. Bakat!. Apa itu bakat? Mengapa kita harus memberi label orang yang ini berbakat dan orang yang itu tidak atau kurang berbakat. Dan siapa dia yang berhak memberi label? Baginya kegiatan seperti ini adalah sebuah kesia-siaan.

Mengapa kita tidak membiarkan saja orang-orang bertumbuh dan mengambil jalannya sendiri-diri. Toh pada akhirnya orang-orang akan menemukan dirinya dan jalannya sendiri. Biarkan saja mereka bertumbuh layaknya bunga di padang rumput. Masing-masing bunga akan berkembang dengan warnanya sendiri-sendiri. Mengapa perlu mengikuti teknik-teknik menulis yang seringkali membuat tulisan seperti batu nisan dari pualam, indah tapi tak bernyawa? Biarkan saja semuanya mengalir. Mengapa harus membatasi diri?

Satu hal lagi yang dibenci si penyair. Satu hal lagi yang membuat dia tidak habis pikir. Mengapa kita melakukan hal yang sama atas nama tradisi walaupun kita tahu itu sudah tidak berguna lagi? Termasuk perlombaan menulis puisi ini. Sudahi saja. Apa susahnya? Kini kekesalannya memuncak. Akhirnya si penyair tua bangkit dari kursinya dan berjalan menuju taman kecil di belakang rumah. Lalu dia duduk di bangku di tepi taman itu. Dipandanginya bunga-bunga yang sedang bermekaran. Dia ingat istrinya selalu menemaninya di bangku ini, meskipun tidak ada yang mereka bicarakan. Hanya berdiam dalam keheningan. Dia ingat bagaimana sang istri hanya tersenyum memandangnya. Baginya, senyuman itu sudah cukup tanpa perlu kata-kata.

“Istriku, kau tahu. Aku lelah menghadapi kebodohan ini. Aku ingin sudahi saja. Besok kalau mereka meminta hasil penilaianku, aku katakan saja pada mereka bahwa tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Biarkan saja puisi itu mengalir ke mana saja mereka mau. Toh hidup ini bukan persoalan menang kalah”. Si penyair melihat bayangan istrinya yang tersenyum kepadanya. Dia tahu istrinya setuju dengan keputusannya. Kini dia pun merasa damai. Segala kegundahannya lenyap. Dia lalu tertidur di bangku itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun