Mohon tunggu...
Helen Adelina
Helen Adelina Mohon Tunggu... Insinyur - Passionate Learner

Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value - Einstein

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Satu Wajah, Banyak Kisah dan Perihal Jatuh Cinta

3 April 2021   11:00 Diperbarui: 3 April 2021   12:07 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku terpaku memandangmu saat pertama kali kita bertemu. Aku sudah lama tidak merasakan hal seperti ini. Kau tidak cantik, tapi sesuatu di dalam dirimu yang membuatku tertarik. Entah matamu yang seperti menyimpan misteri atau kulitmu wajahmu yang bercahaya walau tanpa polesan make-up. Di era Instagram dimana orang-orang saling berlomba menunjukkan eksistensi diri dengan citra yang sempurna, kau seperti anomali. Cepat-cepat kutarik tanganku saat kita berjabat tangan. Aku tidak mau memberi kesan yang tidak sopan jika menjabat tanganmu terlalu lama. Padahal aku masih ingin menatapmu lebih lama.

Aku memperhatikanmu dengan seksama saat kau menjawab pertanyaanku dan memberi penjelasan yang rinci saat presentasi siang itu. Aku terkejut dengan cara pandangmu yang visioner dan mendalam. Sebenarnya, jabatanmu saat ini tidak mengharuskanmu berpikir strategis dan visioner. Ini membuatku semakin tertarik denganmu. Aku ingin berdiskusi muka dengan muka denganmu. Tapi posisiku sebagai Chairman tidak memungkinkan untuk melakukan hal itu. Aku tidak ingin kau ataupun orang lain salah mengerti, bahwa aku menggunakan posisiku untuk mendekatimu. Me too movement membuatku sangat berhati-hati berinteraksi dengan para karyawati.

Selepas meeting itu, aku mencari ide bagaimana caranya agar aku bisa berbicara denganmu. Aku gelisah. Tidak mungkin kalau aku langsung mengangkat telepon dan menghubungimu. Ada hirarki dalam organisasi yang harus aku ikuti. Akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi atasanmu. Aku katakan padanya, ada beberapa hal teknis yang ingin aku bahas lebih mendalam denganmu terkait presentasi siang itu.

Malam itu, aku memikirkanmu. Dari caramu berbicara dan mengemukakan pendapat, aku tahu kau perempuan cerdas. Aku bertanya-tanya mengapa kita tidak bertemu lebih awal, kapan kau mulai bekerja di perusahaanku, apa mimpimu, apa yang telah kau alami dalam hidupmu?. “Mengapa aku jadi memikirkanmu? Mungkinkankah aku jatuh cinta?”, tanyaku pada diri sendiri. Tidak mungkin. Aku tidak percaya orang dapat jatuh cinta pada pandangan pertama. Itu hanya omong kosong. Bisa jadi itu hanyalah ketertarikan fisik semata. Bukan cinta. Lagipula menurutku, menjalin hubungan itu menguras banyak energi. Terlalu banyak tuntutan yang tidak masuk akal, terutama tuntutan romantisme bak cerita dongeng putri-putri Disney. Menurutku, dongeng Cinderella dan putri-putrian itu telah membentuk persepsi banyak orang bahwa hubungan akan selalu berakhir bahagia. Tentu saja ini tidak realistis. Yang tidak disadari orang-orang, perlu banyak usaha untuk menjaga agar hubungan dapat bertahan dan positif bagi kedua belah pihak.

Terus terang saja, aku merasa lelah dengan semua itu. Itu sebabnya dalam lima tahun terakhir, aku memilih untuk sendiri. Tidak ada lagi yang mengaturku apa yang harus lakukan, di mana harus makan malam, atau menegurku saat aku menghabiskan waktu dengan teman-temanku. Tidak ada lagi sindiran kalau aku tidak membawakan bunga atau hadiah, seolah-olah aku orang paling kejam dan paling buruk di dunia. Aku merasa bebas merdeka. Aku bisa malas-malasan seharian tanpa ada suara berisik di sekitarku. Tentu saja ibuku kuatir dengan keadaanku. Sebagai putra satu-satunya, orangtuaku berharap aku menikah dan memiliki keturunan. Berkali-kali aku menjelaskan kepada ibuku, nanti ada waktunya.

Saat yang ditunggu tiba. Kau datang sendirian ke ruanganku dengan membawa laptop dan beberapa dokumen. Aku memang sengaja meminta atasanmu agar kau datang sendirian, dengan alasan bahwa aku ingin tahu lebih banyak aspek teknis dari prospek bisnis yang beberapa hari lalu dipresentasikan. Dan aku tahu ini adalah idemu, jadi atasanmu tidak banyak membantu dalam hal ini. Selain itu, tentu saja alasan utamanya agar aku dapat bersamamu. Kau memakai baju bercorak etnik hari itu. Kulitmu yang kecoklatan dan baju bernuansa etnik yang kau pakai bener-bener serasi. Aku menyukai gaya berbusanamu.

Setelah berdiskusi tentang agenda meeting kita, aku ingin sekali bertanya hal-hal lain yang bersifat pribadi, hal-hal yang aku pikirkan tentangmu beberapa hari ini. Sebagai pembuka, aku bertanya tentang latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, dan asal usulmu. Sebenarnya aku ingin bertanya padamu, apakah kau sudah punya menikah atau punya kekasih? Seingatku kau tidak memakai cincin di jarimu. Tentu saja aku menahan diri untuk tidak menanyakannya. Aku memutar otak bagaimana caranya aku dapat mengetahui statusmu tanpa terkesan tidak profesional.

“Kalau harus lembur karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan, apakah suamimu tidak keberatan?”, tanyaku. “Aku belum menikah. Jadi tidak ada yang keberatan”, jawabmu. “Pacar barangkali?”. Kau tersenyum. “Aku juga tidak punya pacar”, tambahmu. Aku senang mendengar jawabanmu. Kau belum ada yang punya. Berarti aku punya kesempatan. “Aku tidak begitu tahu banyak budaya Indonesia. Umur berapa biasanya orang-orang menikah?”, tanyaku. “Kalau di kota besar, rata-rata perempuan menikah sekitar umur 25 tahun dan laki-laki 27 tahun. Kalau di kota kecil dan di desa, lebih muda lagi”, jawabmu. “Bagaimana denganmu, apakah kau ada target kapan harus menikah?”, tanyaku lagi. Lalu aku tersadar aku sudah melanggar batas. Aku berharap dapat menarik kembali perkataanku. Untungnya kau tidak keberatan.

“Aku? Aku tidak ada target untuk menikah”, jawabmu sambil tersenyum. “Aku malah tidak yakin kehidupan pernikahan cocok untukku. Maksudku, ada banyak hal dalam konsep kehidupan pernikahan yang aku tidak setuju. Tradisi di sini, laki-laki lebih dominan dalam rumah tangga. Perempuan lebih banyak mengalah. Menurutku, suami istri adalah patner, jadi seharusnya sejajar. Bukan yang satu dominan terhadap yang lain.”

“Kau tahu, jaman sekarang banyak perempuan yang bekerja. Agak sulit mengandalkan satu sumber income karena biaya hidup dan biaya sekolah anak sangat mahal. Banyak aku amati teman-temanku, mereka harus berjimbaku mengurus anak-anak sepulang kerja. Belum lagi mengatur asisten rumah tangga untuk urusan makan malam. Sementara suami asyik nonton TV atau main gawai“, ketusmu“.

“Aku merasa ini tidak adil. Menurutku, toh suami istri sama-sama capek pulang dari kantor. Berdesak-desakan di commuter atau terjebak macet. Sebagai pasangan,  harusnya suami juga ikut membantu istri. Toh, itu anak-anak mereka bersama, bukan hanya anak-anak si istri. Yang mau makan juga semua orang, termasuk si suami”. Lalu kau tiba-tiba terdiam. “Maaf, aku bicara blak-blakan begini. Padahal kita baru kenal”, lanjutmu. Aku tersenyum. “Tidak apa-apa. Aku senang dengan keterbukaan. Tampaknya kau tipe orang suka berterus terang”.

“Ya, aku suka berbicara apa adanya. Sayangnya tidak semua orang di sini bisa menerima. Biasanya kalau laki-laki bicara terus terang, dianggap pemberani, cocok jadi pemimpin.  Tapi kalau perempuan yang bicara terus terang, dianggap lancang, tidak sopan. Ada standar ganda di sini”. Waduh, berat sekali pembicaraanmu, pikirku. Ini semakin meneguhkanku kalau kesan pertamaku tentang dirimu benar adanya.

“Menurutmu, bagaimana seharusnya hubungan laki-laki dan perempuan?”, tanyaku. Kau menjawab bahwa kau lebih setuju dengan pendekatan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dalam urusan rumah tangga. Ini bukan masalah emansipasi. Tapi lebih karena laki-laki dan perempuan sama-sama manusia. Harusnya rasa kemanusiaan itu yang menuntun kita berinteraksi satu sama lain.

“Bagaimana dengan konsep kepemilikan? Maksudku, apakah kau setuju bahwa pasangan kita adalah milik kita dan sebaliknya?”. Kau pun menjawab, “Aku rasa konsep kepemilikan itu adalah ide gila. Setiap orang adalah milik dirinya sendiri. Kalau kau percaya Tuhan, setiap orang adalah milik Tuhannya. Kita tidak pernah memiliki siapapun, entah itu pasangan kita ataupun anak-anak kita. Kita telah salah kaprah tentang konsep kemilikan ini. Dan sayangnya, salah kaprah ini sudah merusak banyak hubungan, entah itu hubungan suami-istri ataupun orang tua dengan anak”. Aku jadi malu. Baru saja aku berpikir seandainya aku bisa memilikimu. Untung kau tidak tahu apa yang kupikirkan.

Tidak terasa sudah lebih dari setengah jam kita berbincang-bincang. Aku masih ingin berbicara denganmu lebih lama lagi. Tapi aku sadar aku telah menyita waktumu terlalu banyak. Setelah meminum teh yang disuguhkan, kau pun berkata “Ada lagi yang ingin Bapak diskusikan?”. Kalau aku berterus terang padamu, tentu saja akan kujawab “Banyak. Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu”. Tapi aku menjawab tidak ada lagi. Kaupun meninggalkan ruanganku dan kembali ke meja kerjamu.

Setelah kau pergi, aku memikirkan pembicaraan kita. Aku berjalan menuju jendela, menatap ke luar. Kupandangi rumah-rumah yang berada di sekitar gedung kantor. Kenderaan berlalu lalang di jalanan tiada henti. Awan yang bergerombol seperti kapas menggantung di langit yang biru. Benarkah kita tidak pernah bisa memiliki seseorang? Pertanyaan ini mengusikku. Aku mengingat kembali hubunganku dengan para mantan pacarku sebelumnya. Banyak masalah terjadi karena satu sama lain merasa berhak atas yang lainnya. Saling menuntut, lalu kemudian saling kecewa. Pertengkaran yang tak ada habisnya. Kisah cinta teman-temanku juga sama tidak beruntungnya. Proses perceraian yang menyakitkan dan lama, membuat dua orang yang dulunya saling mencintai, kini saling bermusuhan. Kedua belah pihak saling membuka aib di depan orang-orang asing yang tidak tahu menahu kisah mereka, seolah-olah apa yang mereka lalui bersama dan cinta yang dulu ada sama sekali tidak berarti. Mungkin kau benar, pikirku. Kepemilikan adalah sebuah ilusi.

Malam itu, di kamar hotel tempatku menginap, aku kembali memikirkanmu. Seandainya kau bersamaku saat ini, cerita apa lagi yang ingin kau sampaikan? Akankah kau bercerita tentang cinta? Tentang kemanusiaan barangkali? Atau tentang remeh-temeh acara di televisi? Ah, sayang sekali besok aku kembali ke Eropa. Sebelum pulang, bisakah aku bertemu denganmu? Alasan apalagi yang harus kubuat? Ah, seandainya semudah itu berterus terang, aku akan meneleponmu saat ini. Aku sudah meminta nomormu siang tadi. Kupandangi nomor selulermu di phone book gawaiku. Apakah aku menekan tombol call? Atau menulis pesan melalui WA? Ah, aku tidak punya keberanian.

Hari ini, aku berada di berada di dalam pesawat. Sebelum mematikan selulerku, aku berpikir untuk mengirimkan pesan padamu bahwa aku senang sekali bertemu denganmu. Aku sangat menikmati waktu bersamamu. Lagi-lagi aku tidak punya keberanian. Cinta akan teruji dengan jarak dan waktu, aku ingat pernah membaca kalimat ini dari sebuah buku. Mungkin kau tidak tahu. Dua kali pertemuan denganmu telah membawaku kembali ke diriku sendiri, apa yang kuyakini tentang hidup, cinta dan hubungan manusia. Aku akan mengingatmu, perempuan yang membawaku kembali pada banyak kisah dan yang membuatku jatuh cinta. Jika nanti seiring waktu, perasaanku padamu tidak berubah, aku akan datang kembali. Saat itu, aku akan datang dengan keberanian untuk mencintai tanpa memiliki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun