Mohon tunggu...
Heidy Sengkey
Heidy Sengkey Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ingin selalu berbagi lewat tulisan...\r\n\r\nMenghargai hidup dengan kerja keras dan mengasihi sesama.\r\n\r\n^__* Jalani hidup dengan penuh ucapan syukur...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mari Menderita Bersama

27 Maret 2012   12:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:24 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kalau di dalam hidup ini kita hanya sanggup bersorak-sorai, bergembira, dan bersenang-senang itu berarti kita belum sepenuhnya mengerti arti penderitaan itu. Tapi ada juga pertanyaan menggelitik, kalau begitu adakah manusia yang tidak pernah merasakan penderitaan? Adakah manusia yang tidak pernah menderita? Kalau ada yang mengiyakan maka ia sementara membohongi dirinya sendiri. Selama kita hidup di dunia ini, penderitaan masih akan selalu menghantui kita. Cara kita menghadapi penderitaan dan dukacita itulah yang membedakan kita. Tapi semua kita sudah pasti pernah mengalaminya.

Pernahkah Anda mendengar kata-kata ini: “Rejoicing without reflecting. Merriment without mourning?” Artinya kurang lebih adalah “Bersorak-sorai tanpa melakukan refleksi. Bersukacita tanpa bersedih. “ Ini adalah sebuah pernyataan sarat makna. Bahwa sudah seharusnya kita belajar merefleksi perjalanan hidup kita. Dan kita harus mampu untuk bersedih dan menderita bersama orang lain. Sesama kita yang hidup di sekitar kita.

Bersukacita tanpa bersedih menciptakan banyak masalah. Kita kadang sudah lupa bagaimana cara bersedih. Kita kehilangan kemampuan untuk menangis. Kemampuan kita untuk ’turut merasakan’ mulai memudar. Yang tersisa hanyalah basa-basi dan seremonial semata. Dunia ini perlu disyukuri tapi perlu juga ditangisi. Ada berapa banyak anak kecil yang meninggal karena mati kelaparan? Ada berapa banyak penyandang cacat yang tak bisa hidup normal di tengah-tengah masyarakat dan masih terus dianak-tirikan?. Jutaan anak putus sekolah dan buta huruf masih terus bertambah. Anak-anak korban pelecehan seksual, pembunuhan, penistaan, dan masih banyak lagi, tetap terlihat di mana-mana. Selagi kejahatan masih terus ada dan lahir di bumi ini, selama itu juga kita masih perlu bersedih, menangis, dan turut merasakan penderitaan mereka yang mengalami nasib berbeda dengan kita.

Dalam buku Is It Real When It Doesn’t Work? Doug Murren dan Barb Shurin bercerita bahwa menjelang akhir abad ke sembilan belas ahli kimia Swedia yaitu Alfred Nobel bangun pada suatu pagi dan membaca berita kematiannya sendiri di surat kabar lokal; “Alfred Nobel, penemu dinamit, yang meninggal kemarin, menemukan suatu cara untuk membunuh lebih banyak orang lagi dalam suatu peperangan. Dan kini ia meninggal dunia sebagai orang yang sangat kaya.”

Sebenarnya pada saat itu, kakak laki-laki Alfredlah yang meninggal, tapi seorang reporter surat kabar bersikap ceroboh ketika membaca tulisan di atas batu nisan. Reporter itulah yang secara tidak sengaja menukarkan nama Alfred dengan kakaknya ketika ia menuliskan beritanya. Tapi sesungguhnya berita di koran itu mempunyai dampak yang luar biasa pada diri Alfred Noble. Ia lalu menetapkan suatu keinginan untuk dikenal dan dikenang karena sesuatu yang lain daripada sekedar dikenang karena berhasil mengembangkan cara-cara untuk membunuh orang secara efisien seperti isi berita di koran lokal tersebut. Dan bukan juga seperti isi berita itu, bahwa ia meninggal pada saat kaya raya karena penemuannya (dinamit) yang dapat membunuh banyak orang. Oleh karena itu ia akhirnya memprakarsai sebuah kegiatan dengan hadiah nobel, yaitu pernghargaan bagi para ilmuwan dan penulis yang membantu perkembangan perdamaian dan kedamaian dunia. Penghargaan yang masih terus diberikan hingga saat ini.

Nobel berkata: “Setiap orang seharusnya mempunyai kesempatan untuk mengoreksi tulisan di batu nisan mereka masing-masing dan menuliskan yang baru.” Bagaimana cara kita mengoreksinya? Dengan sikap dan tindakan kita selama kita masih diberikan kesempatan untuk hidup di dunia ini. Sebagai apa Anda ingin untuk dikenal dan dikenang ketika Anda meninggal nanti adalah tergantung sikap dan tindakan selama hidup di dunia ini. Kalau perbuatan baik yang Anda lakukan, maka torehan indah tentang diri Andalah yang akan dikenal dan dikenang orang.

Oleh sebab itu syarat utama yang tak kalah penting sudah barang tentu adalah sanggup menderita dan menangis bersama orang lain. Bersukacitalah bersama mereka yang bersukacita dan menangislah bersama mereka yang berdukacita. Dalam sebuah artikel yang berjudul “America Return to God” Shirley Dobson mengutip dari buku Gary Bauer berjudul Our Hopes Our Dreams: “…Sedikitnya 10 juta warga negara akan menjadi korban kejahatan yang brutal dan 32 juta akan menjadi korban kejahatan properti…” Itu baru di Amerika. Kalau dihitung kejahatan yang terjadi di tiap negara di dunia ini, tentu akan luar biasa banyaknya.

Ada catatan yang menuliskan sesungguhnya ada saja kejahatan brutal yang terjadi pada setiap 16 detik, satu pembunuhan sadis setiap 21 menit, satu perkosaan dengan kekerasan setiap 5 menit, satu perampokan setiap 48 detik, satu serangan yang menyakitkan termasuk juga penganiayaan setiap 28 detik, dan satu kejahatan properti setiap 3 detik. Selama kejahatan masih terus terjadi, maka kita jangan pernah berhenti untuk belajar menderita dan menangis bersama.

Banyak disekitar kita mereka-mereka yang hidup dan nasibnya jauh berbeda dengan kita. Jauh dari keberuntungan dan kesuksesan. Kita harus mampu berbagi bersama dengan mereka. Turut merasakan apa yang mereka kecapi. Mereka yang miskin jangan kita jauhi tapi semestinya kita bantu. Anak-anak korban narkoba bukan untuk dikesampingkan dan dijauhi, tapi jurtu dikasihi dan didekati, beri pertolongan dan bimbingan. Mereka yang penderita sakit “yang dinistakan masyarakat” seperti para penderita AIDS dan kusta janganlah dikucilkan dan dihina, tapi dikasihi dan diberi pertolongan. Mereka yang menderita kurang waras dan memiliki sakit ingatan janganlah dihina dan diledek-ledekin, tapi dekatilah dan bantu mereka. Mereka yang berbeda nasib dengan kita bukanlah sarana atau tempat kita mengolok-ngolok atau memberi hinaan. Mereka bukan bahan tontonan untuk kepuasan kita. Mereka juga adalah ciptaan Tuhan sama seperti kita. Kita mesti bisa menderita dan menangis bersama mereka. Prihatin dan turut merasakan penderitaan mereka. Mengasihi dan menolong mereka. Menaruh simpati dan berbagi empati. Sebab walau mereka berbeda, mereka tetaplah sama seperti kita. Sama-sama manusia ciptaan Tuhan yang paling mulia. (HS)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun