Mohon tunggu...
Didi Jagadita
Didi Jagadita Mohon Tunggu... Administrasi - pegawai swasta

pegawai swasta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Bangun Tembok yang Sudah Dihancurkan

28 Januari 2023   02:17 Diperbarui: 28 Januari 2023   02:28 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Suatu ketika, putri sulung Abdurrahman Wahid atau yang lebih kita kenal sebagai Gus Dur yaitu Alissa Wahid menerima nasihat dari ayahnya. Ayahnya mengatakan : Nak, hidup Bapak itu pertama untuk Islam, kedua untuk Indonesia, ketiga untuk NU dan yang keempat untuk keluarga".

Mungkin ucapan Gus Dur kepada putrinya ini tidak sepopuler ucapan atau candaan Gus Dur lainnya, tapi makna dan artinya dalam sekali bagi diri Gus Dur sendiri, bagi keluarga dan bangsa. Gus Dur nyata lebih mementingkan pengabdian dan kerja untuk umat dan negara dibading keluarga. Dan memang, kata-kata Gus Dur ini dilakukannya dalam nyaris seluruh perjalanan hidupnya.

Sejak muda dia aktif belajar dan mengabdi di pesantren milik kakeknya, Hasyim Asyari. Lalu saat kembali dari kuliah di luar negeri, Gus Dur menjadi penulis dan beberapa pekerjaan untuk umat. Beliau pernah menjabat sebai ketua umum NU dan ketua MUI. Di masa orde baru dimana rezim Orba seakan membenturkan umat dengan Gus Dur, beliau bersikap tenang dan tidak terperngaruh.

Pengabdiannya kepada umat dan negara mencapai puncaknya saat dia menjadi Presiden RI pasca reformasi tahun 1999 sampai tahun 2001 (tidak sampai lima tahun dan dilanjutkan oleh Megawati) namun beliau mewariskan banyak hal dalam waktu pendek itu.

Masa itu, Gus Dur yang merupakan ulama besar dengan yakin dan lantang mensupport kaum minoritas yaitu keturunan China yang selama orde baru banyak mengalami kesulitan baik secara administrasi , budaya maupun keyakinan. Pada masa Gus Dur lah, perayaan Imlek dilegalkan, agama Kong Hu Chu menjadi salah satu agama resmi Indonesia.

Padahal kita tahu, bahwa banyak waga keturunan yang mensupport proses kemerdekaan Indonesia. Katakanlah pemilik rumah tempat proklamasi dan rengas dengkolok, Beberapa dokter era kemerdekaan yang berjasa, lalu ada atlet bulutangkis yang mengharumkan nama Indonesia, namun belum diperlakukan dengan adil.

Dengan kebijakan itu, etnis keturunan China  bisa dengan tenang melakukan adat istiadatnya seperti merayakan Imlek, memainkan dan menikmati barongsai, Gus Dur menerobos sekat-sekat tinggi yang selama ini ada di masyarakat prribumi dan non pribumi, sehingga tidak ada lagi diskriminasi bahkan pelanggaran hak-hak dalam beribadah bagi kaum minoritas.

Namun upaya Gus Dur ini akhir-akhir ini patah karena banyak pihak memakai politik identitas sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Politik identitas yang menonjolkan perbedaan etnis dan agama, seakan membangun kembali tembok yang sudah dibongkar oleh Gus Dur.

Mari kita belajar dari gus Dur. Bahwa kita harus mampu menahan ego kita atau kelompok kita demi sesuatu yang lebih besar. Gus Dur juga mengajarkan kepada kita bahwa memanusiakan orang lain tanpa politik identitas adalah hakekat tertinggi dari kehidupan kita di tengah-tengah masyarakat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun