Mohon tunggu...
Ein A. Gilingan
Ein A. Gilingan Mohon Tunggu... -

170 cm, sawo matang, rambut oval

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Aroma Mitis di Pulau Manado Tua

29 September 2015   23:31 Diperbarui: 30 September 2015   00:16 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kerajaan Bawontehu di Pulau Manado Tua akhirnya surut dan pernah diduduki Raja Bolaang Mongodow tahun 1614. Sehingga di puncak gunung Manado Tua terdapat tugu kuburan yang sudah rata tanah, adalah makam tua raja dan keturunannya. Bila naik ke puncak gunung dan menuju ke makam tua itu merupakan lokasi yang beraroma mitis. Jika sedang mujur akan menemukan lokasi fatamorgana, warga setempat percaya bahwa di lokasi itu tersimpan kisah Kerajaan Bawontehu.

Konon kabarnya, ada sebuah lokasi yang dari dinding tanah di atas gunung Manado Tua akan keluar buah nangka (bidulang) yang sudah masak. Baunya harum semerbak. Siapa saja boleh memakan nangka itu hingga habis. Tetapi dengan catatan, jika tidak habis tidak boleh dibawa pulang. Juga termasuk bijinya, pantang dibawa pulang untuk dijadikan bibit. Bagi yang membawa pulang, tidak pernah bisa keluar dari tempat tersebut. Setiap melangkah pulang, arah yang dituju bukanlah jalan pulang tetapi tetap kembali ke lokasi semula.

Dikisahkan beberapa orang tua, tahun 1960-an ada seorang lelaki tua yang pergi merajuk ke hutan di atas puncak gunung Manado Tua. Lelaki belum terlalu gaek itu lama tak kembali. Penduduk menganggap sudah bunuh diri di dalam gua. Tetapi setahun kemudian ia muncul di kampung dan berkisah bahwa ia tinggal di atas puncak gunung dan memakan nangka bidulang masak dan baunya sangat harum, yang keluar dari celah dinding tanah. Tak satu pun biji nangka bidulang itu ia bawa pulang. Sebab dia menerima wangsit, siapapun dilarang memakan nangka bidulang itu asalkan tidak membawa pulang sisa atau pun bijinya.

Awal tahun 1998 ketika penulis masih bekerja sebagai wartawan di Manado Post, suatu sore seorang rekan wartawan yang tinggal di Kampung Pece, Tuminting, buru-buru datang dan berkisah. Bahwa pada hari Minggu di bulan Januari terjadi peristiwa yang tidak masuk akal. Seorang warga di tempat tinggalnya sempat hilang sekejap dalam beberapa jam saat menjemur pakaian di halaman rumah. Setelah kembali, warga itu berkisah bahwa ia seperti baru saja kembali dari sebuah tempat yang megah di puncak gunung Manado Tua.

Yang bersangkutan mengaku naik sebuah kereta putih (di dunia maya), seperti melayang-layang dan tidak seberapa lama kemudian sampai di tempat tujuan. Begitu turun dari kereta, ia terhenyak menyaksikan kemegahan sebuah istana kerajaan yang terang-benderang. Ia laksana seorang pesiaran yang berwisata ke tempat yang klasik tapi penuh kemegahan, tak lama kemudian ia kembali ke tempat semula.

Kisah yang sama pernah dialami oleh beberapa penduduk Manado Tua dalam waktu yang berbeda. Sayangnya rata-rata pelaku sudah tiada. Tetapi kisah hilangnya seorang penduduk Manado Tua (Kampung Negeri) memperkuat aroma mitis yang terkait dengan Kerajaan Bowontehu. Bahwa pernah yang bersangkutan hilang dalam beberapa minggu. Berhari-hari penduduk setempat mencari. Namun sejumput jejaknya tidak ditemukan.

Tetapi suatu hari yang bersangkutan kemudian muncul dalam keadaan yang lemah-lunglai. Ia mengaku kaget dan sadar kembali, sedang tergolek kedinginan di atas sebuah batu besar di tengah hutan. Konon batu itu adalah sebuah tempat tidur mewah di dalam istana kerajaan yang megah. Ia tertidur pulas setelah berkeliling istana yang sangat luas. Banyak orang di istana megah tersebut, tetapi satu pun tidak ia kenal dengan pasti. Ia sempat disuguhkan makanan yang enak-enak. Ternyata makanan yang enak itu adalah kulit kayu yang sudah kering, yang bekas-bekasnya masih ada di atas batu besar tersebut begitu ia sadar kembali.

Sewaktu masih sekolah di SPG Negeri Manado di Kleak (1987-1988), penulis sempat mengorek informasi dari beberapa orang tua-tua kampung. Tetapi hanya satu orang tua asal Manado Tua dan sudah berdomisili di Bitung Karangria bercerita dari perspektif mistik mengenai hal itu. Beberapa kali ia pernah dikunjungi manusia dari suku terasing di Gorontalo. Tetapi percaya atau tidak, kerajaan maya nan megah itu memang ada di puncak pulau Manado Tua. Pintunya terkunci rapat dan tidak ada satu pun manusia biasa yang dapat masuk karena berlainan dunia. Ia pernah beberapa kali meminta izin untuk masuk ke wilayah kerajaan itu, tetapi tidak pernah diperkenankan.

Area tersebut berada di bagian barat puncak gunung Manado Tua. Masyarakat setempat menyebut dengan istilah gunung kecil, disitu terdapat sebuah jurang pada lembah yang dalam dibungkus hutan belantara. Tua-tua desa menceritakan bahwa lokasi itu dulunya sebagai tempat pembuangan mayat yang dibunuh secara kejam oleh tentara Jepang. Digali dengan kerja rodi atau kerja paksa pada jaman Belanda-Jepang. Ada ribuan mayat yang dibuang ke dalam jurang tersebut. Tidak ada satu pun penduduk yang pernah mendatangi lokasi tersebut.

Adapun Apeng Datu atau Pantai Raja, merupakan lokasi pesiar raja-raja dan keluarga. Raja dan keluarganya sering menikmati sunset dari Apeng Datu. Sedangkan di lokasi selanjutnya ada area yang disebut Apeng Gugu atau pantai tempat pesiar para Jogugu. Di wilayah sebelumnya terdapat lokasi yang disebut Apeng Salra(h) atau Pantai Salah. Lokasi pantai itu disebut demikian sesuai dengan kisah yang terjadi. Bahwa tempat itu merupakan lokasi dimana ada dua anak raja berbuat yang tak senonoh dan dianggap sebagai kesalahan yang tidak dapat diampuni.

Sewaktu mengetahui bahwa kedua anaknya telah melakukan kesalahan, raja sangat murka. Bak kepiting direbus, wajah sang raja merah meriang. Dengan sekuat tenaga kursi kerajaan yang ia duduki dilempar dari istana hingga ke lepas pantai. Kursi itu kemudian menjelma menjadi sebuah batu besar di bibir pantai dan dinamakan Batu Kadera (Batu Kursi). Dua anak yang berbuat salah itu dihukum oleh raja dengan cara dikutuk dan dihanyutkan di atas sebuah perahu. Perahu itu tidak hanyut jauh tetapi dibawa arus dan terdampar di pantai berbatu-batu. Perahu layar yang terdampar itu di kemudian hari diberi nama Batu Senggo (Batu Layar).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun