Mohon tunggu...
HE. Benyamine
HE. Benyamine Mohon Tunggu... wiraswasta -

Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan

Selanjutnya

Tutup

Money

Sawit di Lahan Basah Petaka Kabupaten HST Kalsel

10 Mei 2011   05:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:53 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Oleh: HE. Benyamine

Lahan basah, seperti lahan rawa di Hulu Sungai Tengah (HST) yang diperkirakan seluas 13.000 hektar yang tersebar di empat kecamatan sedang diwacanakan untuk diserahkan kepada perkebunan kelapa sawit. Bupati HST berdasarkan masukan lingkaran kekuasaannya berencana memberikan izin perkebunan, karena dianggap sangat cocok untuk perkebunan kelapa sawit, dengan bayangan yang dapat menjadikan wilayah sungai Buluh dan sekitarnya akan menjadi kawasan zona ekonomi baru yang strategis di HST. Bayangan indah di atas kertas dengan pandangan terbatas.

Lahan basah yang direncanakan untuk perkebunan kelapa sawit, dengan pandangan sebagai lahan tak produktif atau lahan marginal tersebut sebenarnya daerah produktif yang dimanfaatkan masyarakat setempat untuk bertanam sayuran pada luasan 9 ribu hektar dan sekitar 4 ribu hektarnya merupakan kawasan lebak tempat kerbau rawa dan berbagai jenis ikan. Berdasarkan pemanfaatan oleh masyarakat, lahan basah tersebut tidak dapat dikatakan sebagai lahan tak produktif, yang memang harus terus dikembangkan dan didorong untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah lainnya. Lahan basah, seperti rawa, meski tidak dimanfaatkan masyarakat tetap merupakan lahan produktif dengan keanekaragaman hayati yang tinggi sebagai ekosistem.


Dalam pemanfaatan lahan basah saat ini, khususnya HST yang sedang mewacanakan perkebenun kelapa sawit di lahan rawa, sudah seharusnya mengacu pada Konvensi Ramsar. Konvensi Ramsar adalah sebuah konvensi internasional yang ditandatangi di kota Ramsar, Iran pada tanggal 2 Februari 1971. Konvensi ini adalah Convention on Wetlands of International Importance Especially as Waterfowl Habitat, yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1991 melalui Keputusan Presiden RI No. 48 tahun 1991.

Lahan basah mempunyai nilai yang tinggi berdasarkan tingkat keanekaragaman hayati dibandingkan dengan kebanyakan ekosistem lainnya. Di banyak negara, lahan-lahan basah ini diawasi dengan ketat penggunaannya serta dimasukkan ke dalam program-program konservasi dan rancangan pelestarian keanekaragaman hayati semisal Biodiversity Action Plan.

Lahan basah berperan dalam Mitigasi. Habitat ini juga akan penting dalam membantu manusia untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim melalui peran penting dalam menjamin keamanan air dan makanan. Hal ini dapat dilihat secara langsung pada pemanfaatan masyarakat HST, yang selama ini dapat mencukupi kehidupan mereka, meskipun masih perlu mendapat dukungan dalam berbagai fasilitas pendukung lainnya, seperti inovasi teknologi dalam pemanfaatannya yang lebih ramah lingkungan.

Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa daerah di hulu sungai sudah menyerahkan lahan basah mereka kepada perkebunan kelapa sawit, yang seharusnya dapat menjadi pelajaran yang berharga dalam pemanfaatan lahan basah tersebut, seperti di HSS yang saat ini mulai merasakan permasalahan perubahan bentang alam lahan rawanya. Wilayah Nagara sekarang dihadapkan dengan permasalahan genangan air pada tempat yang tidak biasanya, sebagian petani sawah dalam beberapa tahun telah mengalami gagal tanam, karena ketinggian air yang tidak dapat dikendalikan. Perubahan lahan rawa pada suatu wilayah, apalagi untuk perkebunan sawit besar yang melakukan perubahan secara besar terhadap ekosistem tempatannya menjadi ekosistem baru sama sekali, berdampak pada wilayah lainnya yang berhubungan dengan tata air.

Persawahan di wilayah Nagara sedang mengalami perubahan tata air, yang patut dicurigai karena pembukaan lahan rawa untuk sawit pada wilayah sekitarnya. Kerugian masyarakat dengan perubahan bentang alam lahan rawa mempunyai efek yang berlipat dan menjalar, yang juga menyeret anggaran pemerintah melalui bantuan yang sebenarnya tidak pernah mencukupi, serta menyebabkan mata pencaharian masyarakat terganggu.

Pemerintah HSS melalui instansi terkait dengan bangga menyampaikan sumbangan perusahaan kelapa sawit kepada masyarakat berupa 10 ribu benih ikan, dengan bayangan berkembangnya usaha perikanan, padahal hanya untuk segelintir masyarakat karena perusahaan memberikannya bertahap.Sedikit saja untuk berpikir, berapa jenis ikan yang tidak dapat lagi dinikmati oleh masyarakat dibandingkan dengan 10 ribu benih ikan sumbangan perusahaan yang sejenis. Di sini juga secara tidak langsung, pemerintah daerah memfasilitasi perubahan perilaku yang suka bekerja menjadi perilaku minta sumbangan. Di samping itu, masalah pencemaran dari pestisida dan pupuk kimia yang dibutuhkan perkebunan sawit dalam skala besar perlu diperhatikan untuk pengembangan perikanan, karena pencemar dapat terkonsumsi masyarakat lewat ikan-ikan tersebut. Begitu juga dengan ikan-ikan lokal menjadi berhadapan dengan masalah pencemaran, sebagian jenis ikan tidak dapat bertahan dan sebagian yang bertahan merupakan ikan tercemar.

Dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahan basah berbagai lembaga telah melakukan penelitian yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah dan mengacu pada global strategy on biological diversity,yang pada intinya harus terus dikembangkan dengan teknik-teknik yang dapat mempertahankan keberadaan ekosistemnya. Pemanfaatan lahan basah sebagaimana yang dilakukan masyarakat di HST dan daerah hulu sungai lainnya merupakan pemanfaatan yang sesuai dengan prinsip pengelolaan keanekaragaman hayati, pemanfaatan berdasarkan pengetahuan lokal (indigenous knowledge) dengan strategi melakukan perubahan yang terbatas pada ekosistem. Sedangkan perkebunan kelapa sawit sudah dapat dipastikan melakukan perubahan ekosistem menjadi ekosistem buatan yang monoton.

Kerusakan lahan basah sangat berpengaruh pada penghidupan warga masyarakat, sedangkan perusahaan kelapa sawit tidak terganggu karena mereka sudah membuat ekosistem buatan yang sesuai dengan perkembangan sawit saja dan kepentingan perusahaan. Pencemaran lingkungan tidak menjadi persoalan bagi perusahaan sawit, karena sawit dijaga dengan berbagai bahan kimia yang mencukupi, sehingga seperti persoalan hama dan penyakit cenderung menjadi permasalahan warga masyarakat atas usaha pertaniannya.

Jadi, pemerintah HST sudah seharusnya dapat lebih mengenal wilayah rawa dan pengetahuan lokal di wilayah tersebut yang ramah dalam pemanfaatan lahan rawa. Perubahan ekosistem rawa (lahan basah) secara besar untuk perkebunan kelapa sawit merupakan tindakan yang menyengsarakan kehidupan warga masyarakat sekarang dan yang akan datang. Pemerintah HST seharusnya, dengan sumberdaya aparat, dapat mengembangkan dan meningkatkan produktivitas lahan basah dengan memberikan sentuhan inovasi pada pengetahuan lokal dalam bidang perikanan, perternakan, pariwisata, dan industri kerajinan dan kemasan produk-produk hasil dari lahan rawa seperti ikan sepat kering.

Sungguh tidak sebanding dan setara, lahan rawa sungai Buluh dan sekitarnya ditukar dengan perkebunan kelapa sawit yang dimiliki segelintir orang. Tak ada bayangan sungai Buluh dan sekitarnya menjadi zona ekonomi baru yang strategis di HST, selain ketidakberdayaan yang membayangi warga masyarakat jika perkebunan kelapa sawit direalisasikan. Petaka bagi HST bila tetap tergiur menjadikan kawasan sungai Buluh menjadi perkebunan kelapa sawit.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun