Mohon tunggu...
Hanindito Danusatya
Hanindito Danusatya Mohon Tunggu... Lainnya - A law graduate who loves to learn from history and society

"I Can't get a life if my heart's not in it" - Gallagher

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal Bung Hatta lewat Otobiografi

8 September 2020   08:54 Diperbarui: 8 September 2020   08:56 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tanpa membaca buku otobiografi beliau yang terbagi dalam 3 jilid ini, tentu banyak orang sudah merasa kenal, atau setidaknya cukup tahu tentang sosok Mohamad Hatta, atau yang lebih kondang dikenal sebagai Bung Hatta. Saya sendiri, mulanya agak ragu membeli buku 3 jilid ini. Selain karena harga 3 jilidnya yang memang tidak murah untuk ukuran mahasiswa--waktu itu, sosok Bung Hatta sendiri sudah cukup kesohor dan bisa saya kenali mozaik kisahnya melalui tulisan-tulisan tentang beliau, baik yang dituangkan dalam bentuk buku, maupun dalam artikel daring.

Otobiografi ini dibagi dalam 3 jilid. Jilid pertama berjudul Bukittinggi - Rotterdam Lewat Betawi, Jilid kedua :Berjuang dan Dibuang, dan Jilid ketiga : Menuju Gerbang Kemerdekaan. Susunan jilid ini menggambarkan susunan kronologis kehidupan beliau. Jilid pertama sudah tentu berkisah tentang fase awal kehidupannya. 

Sejak ia lahir sebagai anak seorang pedagang di Bukittinggi, melanjutkan studinya ke sekolah dagang di Jakarta, hingga tumbuh menjadi seorang mahasiswa ekonomi kutu buku yang sekaligus aktivis pergerakan kemerdekaan Hindia Belanda di Rotterdam. Jilid kedua, menggambarkan perjalanan hidup beliau sekembali dari Belanda. 

Turut serta dalam perjalanan bisnis sang paman, kembali ke tanah kelahiran, mendirikan PNI baru pasca ditahannya Bung Karno, hingga menjalani masa pembuangannya di Boven Digul, Banda Neira, dan terakhir Sukabumi. Jilid ketiga, bicara soal-soal peran beliau di masa kedatangan Jepang, persiapan kemerdekaan, hingga masa-masa awal merintis pemerintahan Indonesia merdeka yang penuh liku.

Membaca otobiografi Bung Hatta serasa membaca salah satu karya mahsyur penulis kenamaan Jepang, Natsume Soseki yang berjudul Botchan. Meskipun menggunakan gaya bahasa 'lama'--yang amat terasa melalui diksi dan susunan kalimatnya,  cara Bung Hatta dalam menggambarkan kondisi-kondisi yang terjadi dalam kisahnya amat lugas dan gamblang. 

Bung Hatta juga mengajak kita, para pembacanya, memahami kisah-kisah dalam buku tersebut secara utuh, seolah kita bisa betul-betul menciptakan theater of mind kita sendiri melalui kata-kata dalam bukunya. Beliau tak hanya bisa menunjukkan lokasi suatu kejadian atau percakapannya dengan para tokoh dalam buku tersebut, namun juga jam kejadian yang berurutan, bahkan menu makanan beliau saat itu. Berkali-kali Bung Hatta menggambarkan beliau makan roti, telur dan, teh--yang terbawa dari kebiasaan beliau ketika di Belanda dulu.    

Dalam buku beliau, banyak juga kisah-kisah human interest, yang mungkin hanya bisa kita temukan dalam buku itu seperti kisahnya dengan Bung Karno menertawakan Soekarni--yang notabene adalah "penculik" beliau ke Rengasdengklok menjelang 17 Agustus 1945, yang justru meminjam baju Bung Hatta sepulang dari rumah beliau karena Soekarni, yang menggaungkan gerakkan reformasi pemuda melawan pemerintah Jepang ini takut diculik kempetai karena menggunakan seragam PETA, atau kisah tentang rumah tinggalnya di Banda Neira yang konon "berhantu".

Banyak pula kisah-kisah menarik yang bagi saya menjadi berharga karena belum pernah saya temukan baik dalam tulisan penulis lain maupun dalam artikel-artikel daring. Misalnya kisah tentang "tragedi Soekarno". Begitu beliau membahasakannya.  Pada bagian tersebut, beliau menuliskan kisah tentang Soekarno sebagai contoh nyata tragedi seorang aktivis. Soekarno digambarkannya berpindah haluan dari seorang "pembangkang tulen" karena mengambil jalur non-kooperatif dengan pemerintah Belanda sebagai agitator handal. 

Bung Hatta pula menunjukkan ketidaksetujuannya dengan kritik Bung Karno pada pengambil jalur kooperatif. Setelah bertahun menjalani penahanan dan pembuangan dari satu pulau ke pulau lain, dari satu penjara ke penjara lain, Soekarno kemudian memilih jalur baru sebagai sosok yang kooperatif selepas pengunduran dirinya dari seluruh pergerakan yang diikutinya. 

Dalam buku ini, dikisahkan, bagaimana banyak aktivis pada masa itu yang turut kecewa dengan langkah yang diambil sang singa podium. Namun, di sisi lain, Bung Hatta ternyata juga justru mengkritik para aktivis yang mencibir Soekarno. Baginya, tindakan yang dilakukan para aktivis lainnya ini sama mengecewakannya dengan langkah yang diambil Soekarno. Baginya seorang reformis sejati harus senantiasa memiliki pekerti yang baik dan berpegang pada cita-cita. Bukan hanya pada sosok yang didewakannya.

Kisah lain yang tak kalah menarik adalah gambaran yang tercipta dari tulisan Bung Hatta ini tentang hubungannya dengan Bung Karno. Soekarno dan Hatta, sejak era orde baru telah diagungkan menjadi satu kesatuan. 

Ia dan Bung Karno kerap kali dianggap sebagai dwitunggal--meskipun istilah dwitunggal ini juga dikemukakan Bung Hatta sendiri dalam bukunya, istilah ini digunakan oleh Soekardjo Wirjopranoto yang mendorong agar Bung Karno bersama Bung Hatta lah yang menjadi presiden dan wakil presiden pertama pasca kemerdekaan. 

Namun, kesan yang tergambar dari tulisan beliau dalam buku ini ialah bahwa hubungannya dengan Bung Karno, sejatinya tidaklah serapat itu. Malahan ketika membaca jilid dua pada bagian adu pendapat ko dan non-ko, tergambar bahwa Bung Hatta bertentangan dengan jalan pikir Bung Karno. 

Relasi keduanya baru mulai cukup erat sejak Bung Karno dan Bung Hatta sama-sama menjadi anggota dokuritsu junbi inkai, atau yang akrab dikenal sebagai Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Bahkan di era awal kepemimpinan, kedua tokoh keramat Bangsa Indonesia, terpisah berbulan-bulan dengan tugas masing-masing. Dalam masa ini pula lahir maklumat wakil presiden no. X yang melegenda. Beliau mengisahkan pula kisah dibalik nomor X pada maklumat ini. 

Salah satu hal menarik yang patut pula digarisbawahi dari tulisan Bung Hatta ialah kisah perdebatan sila 1 Pancasila. Beliau menulis kisah ini dengan judul, toleransi pemimpin islam. Bung Hatta mengisahkan bahwa dibalik keributan penghilangan kalimat "...dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" ini, Bung Hatta meyakini bahwa syariat Islam, yang seharusnya melekat dalam kehidupan umat islam tetap terlgislasi dalam hukum yang belaku di Indonesia, melalui proses pembentukan undang-undang nantinya. 

Hal ini menarik, karena sudah tentu pada bagian ini, Bung Hatta mengatakan bahwa, inilah tugas umat Islam sendiri nantinya untuk meresmikan hukum islam dalam kehidupan bernegara kita sebagai warga dari negara hukum, Republik Indonesia. Pertentangan untuk memastikan berlakunya syariat Islam bagi umat muslim disudahi Bung Hatta dengan elegan, dengan mewariskan kepada kita, para penerusnya, untuk memasukkan dalam legislasi hukum Indonesia. Bukan hanya tanggung jawab para pendiri bangsa dahulu.

Buku ini, bagi saya, selain mengisahkan hal-hal yang tak terkisah dalam buku biografi maupun buku sejarah lainnya, juga menjelaskan hal-hal yang telah tergambar disitu melalui versi beliau. Misal, dalam sebuah artikel sejarah pernah saya baca cibiran pimpinan angkatan militer kepada Laksaman Udara Suryadarma, yang tidak turun gerilya sesuai inisiasi Jenderal Sudirman. 

Ternyata, pada hari dibomnya lapangan udara maguwo itu, yang kemudian membakar semangat angkatan TRI kita ketika itu, Laksamana Udara Suryadarma tidak lama kemudian muncul di rumah singgah Bung Hatta di Yogyakarta. Dalam buku itu, dijelaskan mengapa Suryadarma tak berangkat, bahkan kisah Suryadarma yang ikut terbuang ke Bangka.

Kisah lain yang, bagi saya, tak kalah menarik adalah bagaimana Bung Hatta menjelaskan sikapnya yang seolah-olah seperti kolaborator atau propagandis Jepang. Latar belakang dan pendekatan Jepang ke beliau dan para pemimpin pergerakkan lainnya yang kemudian membuka mata, bahwa jalur yang beliau ambil cukup tepat dan memang perlu dalam mengisi sekitar 3 tahun pendudukan Jepang di Indonesia. 

Ada kisah lain yang juga lama tak terungkap bahwa Bung Hatta, pernah sekali hendak "dibuang ke Jepang". Begitu para pemimpin pergerakkan membahasakannya saat itu. Hatta dikirim ke Jepang untuk mempelajar value penting disana oleh Kempetai, yang ternyata disambut berbeda oleh PM Tojo disana, Ia justru pulang dengan berita gembira.

Banyak kisah penting lainnya yang menurut saya "langka" dan hanya bisa ditemukan dengan kita membaca lengkap buku 3 jilid ini. Buku ini, banyak didalamnya berisi kisah-kisah yang masih relevan dengan kehidupan kita saat ini. Tak hanya soal berbangsa dan bernegara kita sekarang, tapi juga bagaimana kita menjadi pemimpin setidaknya atas diri kita saat ini. 

Memahami kisah beliau tak sekadar membaca alur kisah sejarah yang memberatkan mata bagi banyak orang. Kisahnya bagi saya seperti membaca novel yang membuat penasaran untuk menghabiskan halaman--halaman selanjutnya. Seperti halnya saya, ketika membaca Botchan-nya Natsume Soseki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun