Mohon tunggu...
Hayyun Nur
Hayyun Nur Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Pemerhati Sosial

Seorang penulis frelance, peminat buka dan kajian-kajian filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

ZILZA

6 April 2019   03:45 Diperbarui: 22 Januari 2021   09:44 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama waktu menunggu itu,  menit demi menit,  situasi semakin menegangkan dan dramatis. Rasa khawatir plus kalut pun makin meningkat.  Bagaimana tidak,  di atas tempat tidur IGD itu,  neng Susi terus mengalami kontraksi.  Makin sering. Terus pula mengerang kesakitan.  Sampai-sampai saya harus beberapa kali memanggil perawat jaga.  Saya agak sedikit lega,  ketika Dokter Wulan -yang akan menangani operasinya- menyempatkan datang untuk melihat kondisi neng Susi.  Mungkin atas permintaan perawat jaga. Mungkin perawat jaga tidak tahan dengan desakan saya.   Sehingga merasa perlu meminta dokter Wulan yang sedang di ruang operasi,  datang.  Melihat kondisi neng Susi begitu,  dokter Wulan langsung memerintahkan kateterisasi dan pencukuran.

Sumpah,  di situ saya baru tau,  kalo orang dioperasi harus terlebih dahulu dikateter. Pencukuran selesai.  Dikateterpun selesai. Masalah tak selesai.  Rasa kuatir dan tegang tak usai.  Neng Susi malah makin sering kontraksi dan mengerang kesakitan.  Saya hanya bisa berdiri. Memegangi. Tepatnya, dipegangi dengan kuat.  Setiap kontraksi,  pegangan dan erangannya makin kuat.  Lengan saya sendiri sampai terasa sakit dan ngilu dipegang kuat-kuat begitu.

15 menit setelah dikateter dan dicukur, dalam erangan kontraksinya,  neng Susi mengatakan seperti ingin buang air besar. Saya spontan berteriak pada perawat jaga. Yang langsung mendatangkan seorang bidan.  Jalan lahir diperiksa.  Tak sabar saya bertanya.  Dijawab sudah pembukaan 3. Tapi belum boleh mengejan.  Posisi kepala si calon bayi belum pas. 

Panggilan dari ruang operasi tak juga kunjung tiba. Tegang.  Makin tegang. Tenang sebentar. Kontraksi lagi. Mengerang lagi. Neng Susi mengeluh ingin buang air besar untuk kedua kalinya. Makin kuat tanganku dipegang.  Kali ini saya diam.  Tepatnya bingung. Tak tau lagi mau berbuat apa.  

Tapi ketika kontraksi dan erangan berikutnya,  keluhan mau buang air itu muncul untuk ketiga kalinya,  spontan saya berteriak panik ke perawat jaga.  Yang diteriaki tergesa melihat.  Memeriksa dan tanpa ba bi bu,  langsung memberikan arahan.  Rupanya proses persalinan sedang terjadi.  Hanya dengan sekali mengejan. Bluuuus. Keluarlah si bayi. Hampir-hampir masih dalam selaputnya yang di sini biasa disebut tembuni. 

Masih  teringat dengan jelas. Bagaimana mata bayi  itu, sejenak  melongo. Nyaris seperti kebingungan.  Sempat pula mama nyeletuk,  "Kenapa tidak menangis". Tapi dalam hitungan detik setelah itu, terdengarlah suara bayi menangis.  Begitu keras.  Begitu indah.  Begitu merdu.  Lega. Sungguh lega.  Levelnya tingkat segala dewa.  Saya sempat melirik jenis kelaminnya.  Perempuan.  Tak terlalu kaget.  Sesuai hasil USG yang dilakukan hampir tiap bulan sebelumnya.

Hampir  bersamaan dengan suara tangis merdu si Dede (panggilannya selama dalam kandungan), pintu kamar operasi terbuka.  Seorang petugas memanggil nama neng Susi.  Rupanya giliran dioperasi telah tiba. Tapi kalau sebelumnya saya yang tidak bisa memaksa,  ini kali perawatnya yang tidak bisa memaksa.  Si Dede sudah keburu lahir.  Tak mungkin dimasukin lagi ke dalamperut. Saya sampai bergurau ke neng Susi,  "Wah si Dede seperti tau aja keinginan ayahnya". Ketika ibunya sedang dicukur untuk persiapan operasi,  saya memang sempat berseloroh. Mungkin juga setengah mengeluh.  Kepada ibunya saya mengatakan,  "Perut bunda (panggilan untuk neng Susi sejak punya anak) bakal gak mulus lagi nieh. Bakalan ada streching luka bekas operasi". Tapi lebih dari itu,  setelah si Dede lahir,  saya juga tak tahan mengungkapkan kesan saya pada ibunya.  "Si Dede seperti buru-buru sekali mau keluar ya.  Agaknya dia tak mau bundanya dioperasi". Dan ini memang kesan sangat kuat yang saya rasakan dengan seluruh proses persalinan anak ketiga kami ini.  Begitu cepat dan tak terduga.  Tak lebih dari satu stengah jam sejak pertama kami tiba di IGD RS Bersalin Nasanapura.  Kami tiba di situ sekitar jam 08.45. Tepat jam 10.15, si Dede sudah lahir. Normal.  Tak sempat lagi dioperasi.

Tak terduga sama sekali, bila kemudian ternyata,  semua urut-urutan kejadian ini, sampai proses kelahiran si Dede yang begitu cepat,  merupakan bagian dari suatu skenario Ilahiah.  Skenario yang sangat rapi.  Yang kesemuanya memberi peluang bagi kami untuk lolos dari terjangan maut beberapa jam sesudahnya.

(Bersambung ke Bagian 2, "RS Bersalin Nasanapura:  5 Menit Sebelum Gempa)

fb-img-1549854193889-5ca7bf623ba7f703e7393fb5.jpg
fb-img-1549854193889-5ca7bf623ba7f703e7393fb5.jpg
fb-img-1549854186772-5ca7bf4aa8bc150c54527c7c.jpg
fb-img-1549854186772-5ca7bf4aa8bc150c54527c7c.jpg
img-20190211-110844-5ca7bdd9a8bc15580f10789e.jpg
img-20190211-110844-5ca7bdd9a8bc15580f10789e.jpg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun