Tuan, ada satu masa ketika kita menyia-nyiakan waktu untuk saling mencaci dan membenci. Ketika kita terluka dan kecewa. Ketika kita perlahan menjauh.
Hingga, waktu membawaku untuk melintasi garis edarmu dengan cara paling tidak terduga. Dengan cara yang direstui semesta.Â
Pada ketinggian tiga puluh enam ribu kaki, di sanalah aku kembali menemukanmu duduk termenung bertopang dagu.Â
Untuk pertama kalinya setelah perpisahan itu, harapan yang sudah lama kupendam tiba-tiba kembali ke permukaan untuk mengambil peran.Â
Memperhatikan setiap apa yang kamu lakukan, aku berusaha meruntuhkan teka-teki kerumitan dirimu. Menikmati prosesku untuk mempelajari tentangmu.
Sampai akhirnya, aku dan kamu berdamai. Membuat keputusan demi keputusan yang kita anggap bisa menghasilkan kebaikan.Â
Tanpa kusangka, segala yang kucoba dibuat mudah oleh-Nya; sosok keras dan berjarak kembali menggenap. Kebersamaan yang diaminkan jagat raya. Kebersamaan yang dinaungi oleh ridho-Nya.
Tuan, aku ingin kisah kita menjadi tulisan-tulisan istimewa. Cerita penuh nyawa. Yang ketika tertutup oleh debu, ia akan tetap menyenangkan jika dibaca ulang.
Aku ingin kita menjadi cerita manis yang pernah terjadi agar orang-orang setelah kita bisa mengambil manfaat. Aku ingin seperti itu.Â
Sampai di usia senja bersamamu. Sampai aku lupa berapa lama kita sudah saling bergandeng tangan.Â