Mohon tunggu...
ManG JIMs
ManG JIMs Mohon Tunggu... Lainnya - orang desa

Change world with love

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Fiksi "Sampah" Versus Sastra Koran

15 Oktober 2010   15:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:24 1022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Ada paradok, bahwa menulis puisi itu mudah. Anggapan itu menghinggapi tidak saja pelajar mulai tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Bahkan sebagian masyarakat pun memiliki anggapan sama. Apalagi orang-orang yang pernah mengungkapkan buah pikirannya ke dalam media tulisan.

Anggapan itu mendorong siapa pun untuk menulis bentuk sastra yang bentuknya sederhana dan memiliki efektifitas kata. Sehingga tidak sedikit, orang menulis puisi. Namun tidak sedikit pula yang hanya memahami dan memaknai puisi sebagai ujud kesusastraan tertinggi dalam pencapaian makna kata.

***

Ketika sebuah puisi dipublikasikan dan pembaca menerima kenyataan bahwa puisi begitu sederhana. Orang pun lantas beramai-ramai menulis puisi. Seolah-olah mendapatkan gagasan baru. Mungkin saja, puisi yang dibuatnya hasil adopsi dari karya yang dibacanya atau terilhami kata-kata memesona.

Rangsangan untuk membuat puisi secara tiba-tiba saya menyebutnya apresiasi. Apresiasi, memang tidak bisa dipukul rata. Sebab mengalami proses waktu dan fase yang cukup panjang. Dengan demikian apresiasi ada tingkatannya, mulai dari tingkat nol, satu, dua, tiga, dan selanjutnya.

Sebagai ilustrasi, seorang anak kecil ketika menonton film silat. Maka setelah usai menonton dia akan memeragakan gerakan-gerakan yang ada di film. Model seperti ini bisa disebut tingkat apresiasi nol. Sebab ekspresi yang disampaikan hasil habituil dari ekspresi pihak lain dalam bentuk media apa pun.

***

Saya kutipkan puisi berjudul "O ... Gaunku" karya Devina Juventia Kelas VI SDK Samaria Jakarta yang dimuat di SKU Kompas (3/10). Aku pakai setiap bepergian/Tampak cantik aku karenanya/Orang-orang memujiku/Beritanya di mana membelinya/ibuku bilang di dekat rumah/satu minggu kemudian ....

Puisi ini menggunakan diksi naratif. Kekuatan makna kata, belum ditunjukan. Hal itu sangat wajar, karena ia masih duduk di tingkat sekolah dasar. Kendati demikian, karya seusianya menunjukan pilihan kata atau diksi naratifnya secara teliti. Selain itu menunjukan pula keorisinalitasan kata.

Maksudnya, kata yang digunakan bukan hasil adopsi dari kata-kata puisi karya orang lain. Berbeda, misalnya dengan karya salah seorang "kompasianer" Mira Kusuma yang berjudul Belenggu Dusta yang dipublish di Kompasiana.

Angin berbisik/Waktu terdiam bisu/Terbersit makna .....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun