Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sopia, Teluk dan Cemara

12 November 2020   19:46 Diperbarui: 12 November 2020   19:49 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sini laut seperti teluk, dan mungkin memang adalah teluk, warnanya hijau pekat, tak berombak ganas, hanya gelombang, tapi memiliki palung terdalam layaknya jiwa manusia. Tapi, teluk ini, cukup kuat menampung segala gelisah, kehilangan juga kesepian.

Sopia mendiami sebuah rumah di tepian teluk itu, tepatnya di sebuah pulau yang teduh, tempat bertumbuh cemara-cemara, berjejer rapi, tegak dan selalu tabah menaungi seluruh keluh kesahnya. Di siang hari angin pantai berhembus lembut, meski tak sanggup memberi sejuk di angan Sopia yang terus terpuruk.

Betapa tidak, Sopia hidup sendirian di tempat itu, ia disangka gila oleh sebagian orang, sebagiannya tidak peduli dan sebagiannya lagi menganggap Sopia sebagai pertapa, bisa jadi karena ketaatan Sopia pada perintah agama.

Namun sesungguhnya, Sopia bukanlah siapa-siapa, ia perempuan biasa, yang menyimpan seluruh luka kehilangan, tepatnya Sopia adalah manusia tabah yang terus menunggu, meski ia sadar penantiannya adalah sia-sia.

Sopia bukan pula perempuan yang pernah dikecewakan oleh harapan tentang cinta yang kandas dari seorang lelaki idaman, Sopia tidak pernah mengalami patah hati sejenis itu, pun ia tidak ingin mengalaminya. Tapi, kehilangan yang dilalui Sopia, adalah kehilangan paling gelap lagi menyakitkan, ia harus menanggung beban itu sendirian, tanpa teman, orang tua, saudara maupun kekasih.

Ia kerap merasai pedih di ruang dadanya, menjalari segenap pori kulitnya yang kecoklatan karena matahari lautan. Sopia selalu mengalaminya sekali dalam sehari, meski begitu, air matanya tak lagi menggenang, ia lupa kapan terakhir matanya berair sebab kesedihan, mungkin sudah mengering, luruh di luasnya samudra yang ia pandangi sehari-hari.

Di pulau ini, Sopia hidup dari kasih sayang para pelaut yang kerap melintas di depannya, kadang mereka singgah berbasa basi dengan sapaan sederhana, lalu memberinya beberapa ekor ikan, atau mereka hanya melempar begitu saja hasil tangkapan sekadar ingin berbagi berkah dengannya. Itu terjadi setiap subuh, ketika matahari belum tampak dan langit masih kelabu.

Pukul empat Subuh adalah waktu ketika Sopia duduk memeluk lutut menghadap laut, ia mengosongkan pikiran, membenamkan tatap di lautan tanpa gemuruh, sembari menyimpan harap pada sebuah kepulangan dari seseorang yang pergi dalam sepi. Di kejauhan, gunung-gunung berjejer, berlapis,  dalam kabut yang mengaburkan pandang.

Pukul empat subuh, bagi Sopia adalah perantara ketika langit perlahan tersibak menuju terang, pertanda hari sudah benar-benar berganti. Ia tak pernah melewati waktu itu sedetik pun dalam hidupnya, sejak ia percaya pada janji, bahwa Pulang adalah sebuah kepastian.

Sopia tak pernah merasa putus asa, ia selalu mengira seseorang akan pulang di pagi itu, menyapanya seperti biasa, menyuapinya penuh kasih, menemaninya berlarian di bawah rindang cemara dan mengantarnya pada tidur paling nyenyak sepanjang malam.

Ia mengingat itu setiap pagi, tepatnya berharap seluruh kenangan itu akan terjadi lagi. Akan kembali utuh. Ia ingin menghapus sepotong kenangan kecil, pendek, ringkas namun hidup dan terus hidup di sekujur raga dan batinnya. Kenangan itulah yang membuatnya terus menetap di pulau ini, hidup seadanya, tanpa kemauan apa-apa selain menunggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun