Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kupu-kupu Penghantar Pertanda

22 April 2018   20:17 Diperbarui: 22 April 2018   20:38 1591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada kupu-kupu hitam bercampur biru, sayapnya berkepak lembut, mengisyaratkan tegar hidupnya yang setia berpindah dari kelopak bunga yang satu ke kelopak berikutnya. Tapi kupu-kupu ini tak hinggap di bunga-bunga, ia mencengkeramkan kakinya yang lembut dan mungil itu, di dinding beton yang lembab dan berdebu. 

Mengapa ia tak mencari bunga? Maurita tertegun menatapnya, ia mendekatkan pandang agar dapat melihat lebih jelas ke ruas-ruas sayapnya yang terus berkepak perlahan. Sayap kupu-kupu itu serupa beludru, lembut, namun Maurita menahan diri dari keinginan menyentuhkan ujung jarinya, semata agar kupu-kupu itu tetap disitu. 

Sampai hari ketiga, kupu-kupu itu tak berpindah tempat, Maurita makin mengaguminya, ibunya pernah bilang, jika kupu-kupu singgah di rumah, artinya, akan ada tamu penting yang berkunjung. Maurita meyakini ucapan itu, sejak seekor kupu-kupu bertengger di kursi tamu sehari sebelum Magnus datang melamarnya, meski lelaki itu tak pernah menjadi kekasihnya. 

Kini, seminggu lagi hari pernikahannya tiba dan kupu-kupu yang sama justru kembali hadir di kamarnya. Siapakah tamu penting itu? Maurita membatin. Harapan akan kelancaran seluruh prosesi pernikahan terus menjadi doa-doa yang dengan setia ia haturkan. 

Ia memasrahkan seluruh perasaan dan cintanya hanya kepada Tuhan, sebab bagaimanapun Magnus adalah lelaki yang hanya sekali bertemu, berbincang basa basi dan lalu berani datang meminangnya. Maurita bukannya tak memiliki kekasih, ia pernah berkekasih, dulu, lima tahun yang lalu, tapi waktu dan kesempatan mungkin tak memberi jodoh pada apa yang mereka impikan, hingga keputusan untuk hidup sendiri, masing-masing mereka jalani tanpa pernah saling mengabari. 

Pagi ini, Maurita bangun dengan tergesa, entah kerinduan apa yang menghinggapi benaknya, ada rasa sehampa udara menggema di batinnya, ia ingin menemui kupu-kupu itu. Tapi Maurita tak menemukan apapun, dinding yang semula berhias kepak sayapnya yang lucu, kini kosong, tersisa kelupas cat abu-abu yang lusuh. 

Maurita mencari ke bagian dinding yang lain, setiap sudut ia susuri dengan tatap matanya yang penuh harap, ia tak menemui apapun. Kemana kupu-kupu itu? Bibir Maurita berbisik sendu. Ia menunduk lesu di samping tempat tidur, tetiba pandangnya tertuju pada selembar sayap yang terserak di lantai, ia menghampiri sayap itu, memungutnya, Maurita memperhatikan warna biru yang menempel di salah satu sisi sayap yang rapuh. 

Kupu-kupu itu mati, seketika jantungnya berdebar keras. "Jika kupu-kupunya mati, tamunya tidak jadi berkunjung Mar" suara ibunya terngiang jelas di telinga dan pikirannya. Tamunya tidak akan datang, Maurita membatin, tapi siapakah tamu yang ditandai sang kupu-kupu itu? 

Pintu kamar Maurita diketuk, ketika ia hendak rebah kembali di kasurnya yang empuk. Maurita memutar gagang pintu dan sang Ibu berdiri di sana, memandangnya dengan mata berkaca, setetes air menggenang di sudut kelopaknya yang keriput. Bibirnya setengah terbuka hendak mengucap sebuah kabar sedih, namun naluri kasihnya tak tega, segera ia memeluk Maurita anak perempuan yang amat disayanginya. 

Maurita bingung dengan keadaan ibunya, ia menuntun tubuh setengah baya itu kesamping tempat tidur, lalu mencoba menenangkannya. 

"Ada apa Bu?" Maurita bertanya pelan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun