Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Foto Kesembilan Puluh Sembilan

26 Februari 2018   15:29 Diperbarui: 26 Februari 2018   15:33 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto itu adalah foto kesembilan puluh sembilan yang digantungkannya bersama puluhan foto-foto lainnya. Sambil bertumpu pada bangku kecil, Skiso menggantung foto itu di salah satu ruang kosong yang masih tersisa di dinding kamarnya yang telah kusam oleh debu dan cat yang terkelupas. 

Pada dinding-dinding itu, Skiso menggantung puluhan foto dan lukisan-lukisan berbagai ukuran, warna dan tema. Ia menatap foto-foto itu satu persatu, di wajah-wajah dalam foto, ia menemukan aneka ekspresi pada tatapan mata, senyuman, aura, bahkan pikiran dan kenangan-kenangan. Di tiap garis wajah Skiso sanggup menebak tingkah laku dan ucapan seperti apa yang sering terlontar dari sang pemilik wajah. 

Skiso bukan peramal, bukan pula orang yang gemar menghabiskan waktu dengan buku-buku tentang seni membaca wajah dan sejenisnya, ia juga bukan mahasiswa psikologi, tetapi kemampuan tersebut semacam ilham yang hadir tanpa diharap, mungkin juga adalah bakat yang tumbuh tanpa pernah disadarinya. 

Bakat itulah yang mengantar Skiso pada pekerjaan yang sebetulnya sanggup mengubah hidupnya menjadi seorang jutawan, tapi Skiso terikat pada banyak perjanjian dan aturan yang harus dipatuhinya demi keselamatan nyawanya sendiri, maka ia hidup layaknya orang biasa yang berkecukupan saja. 

Pada kerutan-kerutan yang jelas tampak di sudut mata dan bibir, Skiso menemukan bermacam prinsip dan kepentingan, kadang tipu daya dan ambisi bersatu dalam pancaran senyum palsu dan tatapan lelah dari si empunya wajah. Pemilik wajah dalam foto itu berasal dari latar belakang yang beraneka rupa, laki-laki dan perempuan, tua maupun muda, kadang Skiso menangkap tujuan yang sama di beberapa aura wajah namun terpantul dengan cara yang berbeda. 

Malam ini Skiso kembali menangkap tujuan yang sama yang terpancar dari hampir belasan wajah, Skiso keheranan tujuan itu makin jelas dalam penglihatannya. Perlahan ia memilah beberapa wajah, memindahkan foto-foto mereka ke ruas dinding yang lain, ada empat belas foto dengan latar dan bingkai beraneka warna yang ia pindahkan. 

Skiso berdiri tegak sambil menyilangkan kedua lengannya di depan dada, ia mengamati wajah-wajah itu satu persatu, menelusuri tiap lengkungan bibir dan garis tawa, menandai sudut mata dan bentuk hidung, menelaah bentuk alis, hingga menghitung lipatan kerut di dahi. 

Empat belas wajah itu menampilkan tujuan dan kepentingan hidup yang sama. Tetapi ketika Skiso menenggelamkan tatapan akhirnya pada pupil mata, tampak olehnya perbedaan tentang bagaimana kepentingan dan tujuan itu diekspresikan. Ada sebentuk ketamakan dan keserakahan yang dibungkus dalam rupa kebaikan-kebaikan palsu, seperti pemberian bantuan, ucapan-ucapan manis, serta tingkah yang diatur dan dipelajari sedemikian rupa, Skiso menangkap semua itu pada masing-masing kelopak mata yang menempel pada wajah-wajah dalam foto-foto yang masih terus ditatapnya hingga larut. 

Skiso merenggangkan lehernya yang telah kaku sejak tadi, ia mengambil nafas sejenak sebelum kembali menguatkan kosentrasi menatap foto-foto itu. Jam tangannya menunjuk angka dua belas, malam telah larut, namun Skiso masih harus menelaah beberapa wajah lagi, kali ini ia menemukan lima wajah lelaki dari empat belas wajah yang tadi. 

Ia menurunkan lima foto lelaki, berjaket jingga, berbingkai kayu dengan warna yang serupa. Skiso tersenyum mendapati kebetulan itu, jingga adalah warna yang sangat tidak disukainya, ia berkesimpulan, mungkin hal-hal yang ia dapati dari pancaran wajah-wajah itu sebetulnya lahir dari ketidaksukannya terhadap warna tersebut. 

Ia menjejerkan kelima foto itu di lantai kamar yang dingin, duduk bersila dan kembali menatapnya satu persatu, apa yang ia peroleh masih sama saja, ada tujuan yang sama tapi cara dan ekspresi amat berbeda. Pelan-pelan Skiso memusatkan pikirannya pada tiap pancaran mata, di salah satu wajah, pikiran dan penglihatan Skiso mendadak terhenti, bulu kuduknya meremang tiba-tiba, Skiso menangkap kengerian yang luar biasa, benaknya dikejutkan oleh bayang-bayang mengerikan yang seketika berkelabat jelas di pikiran dan ingatannya, Skiso memegang foto itu, menatapnya lebih jelas, pada senyumnya yang dipaksakan ikhlas Skiso melihat lapisan tipu daya yang terus menjelma kepalsuan dan dusta, orang-orang biasa, melihat sang pemilik senyum seolah adalah orang baik, peduli dan gemar menghabiskan waktu bersama jelata. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun