Mohon tunggu...
Hatfan Hizriyan Syaidan
Hatfan Hizriyan Syaidan Mohon Tunggu... Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia -

Mahasiswa jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peran Multidimensi Keluarga dalam Mendidik Generasi

29 Juni 2016   14:26 Diperbarui: 29 Juni 2016   14:37 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada penggalan cerita menarik tentang awal kehidupan manusia, bahwasanya presensi manusia di dunia tidak pernah absen dari sebuah institusi yang bernama keluarga. Poin pentingnya bukan hanya lahir, tetapi ada keberlangsungan proses tanpa akhir yang membersamai hidup manusia, Berger (1978) mendefinisikan proses ini sebagai sosialisasi (socialization). Sebagai institusi yang tidak pernah absen dari presensi manusia, keluarga turut berpartisipasi—bahkan bertanggung jawab—dalam proses tersebut. Osman Bakar (2011) mengemukakan institusi keluarga sebagaimana dipandang oleh Al-Quran dan dipraktikkan oleh muslim dalam sejarah peradaban Islam bersifat religius, pedagogis dan sosio-ekonomis. Inilah yang menjadikan institusi keluarga memiliki peran multidimensi dalam proses sosialisasi. Pada gilirannya adalah hal yang substansial untuk memahami konsep, nilai dan peran keluarga sebagai institusi multidimensi dalam mendidik (anak) manusia dari perspektif Islam.

Ada baiknya diskusi ini diawali dengan menjelaskan konsep dan arti keluarga, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia keluarga berarti ibu dan bapak beserta anak-anaknya; seisi rumah dan orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; batih. Pengertian di atas menjabarkan keluarga adalah rumah tangga yang terdiri dari semua orang yang tinggal dalam satu atap. Tipe paling umum dari pengertian ini adalah nuclear family/keluarga inti (batih) yang terdiri dari orang tua biologis serta anak yang mereka besarkan sampai mereka ‘berpisah’ karena menikah dan membangun keluarga baru. Dalam beberapa rumah tangga anggota keluarga bisa termasuk kerabat terdekat biasanya kakek dan/atau nenek baik dari garis maternal maupun paternal, tipe ini disebut extended family. Sedangkan tipe lain yang juga cocok dengan pengertian di atas adalah single-parent family—rumah tangga yang terdiri dari ayah atau ibu sebagai orang tua tunggal serta anak yang dibesarkannya. 

Pemaparan di atas menjadi tidak penting jika hanya bentuk keluarga yang dipertimbangkan, hal yang lebih esensial adalah bagaimana hubungan antar anggota keluarga tersebut berlangsung. Inti dari ragam corak hubungan ini adalah masalah apakah secara sah orang tua menikah menurut hukum yang berlaku, karena isu dari status ini berimplikasi pada hubungan sosial kekeluargaan seperti hak asuh, waris dan kewajiban kepada tetangga serta masyarakat. Dari tinjauan bahasa, gagasan mengenai rumah tangga keluarga memainkan pemeran utama sebagai pencipta makna keluarga dan hubungan kekeluargaan, maka pertimbangan ini cukup sebagai dasar untuk menjustifikasi pernyataan: secara sosial dan institusional rumah tangga adalah institusi sosial yang paling fundamental untuk memastikan kestabilan dalam masyarakat.

Pasangan manusia pertama, yang menurut agama abrahamik adalah Adam dan Hawa, di satukan dalam sebuah janji suci sebagai suami dan istri, serta melahirkan juga membesarkan anak. Mereka manusia pertama dan membentuk keluarga pertama pula yang semua manusia merupakan keturunannya. Tuhan menciptakan Adam dan Hawa sebagai nenek moyang umat manusia, sehingga dapat sepenuhnya kita yakini, dari sudut pandang Al Quran, bahwa institusi keluarga merupakan divine origin. Keluarga Adam inilah yang menjadi prototype dari tiap keluarga manusia. Sebagai institusi sosial, keluarga telah timbul sebagai hasil dari kombinasi tuntunan Ilahi dan usaha insani. 

Rumah tangga keluarga telah berevolusi dari tipe nomad ke mukim, sejarah menunjukkan kemajuan dan kemunduran suatu peradaban tidak independen dari perkembangan institusi keluarga. Institusi keluarga yang baik dan stabil diketahui sebagai faktor signifikan terhadap kemajuan peradaban manusia, sebaliknya kemerosotan dan perpecahan dalam keluarga telah berkontribusi terhadap kemunduran suatu peradaban, sebagai contoh: Prancis pra-revolusi saat kebobrokan kerajaan dan keluarga raja yang korup menjadi sebab berbagai masalah sosial seperti ketidakadilan, kemiskinan, kelaparan dan pengangguran. Hubungan interdependen ini tidak mengherankan karena keluarga membentuk institusi sosial yang paling mendasar dalam masyarakat.

Kemultidimensian keluarga bersifat religius, pedagogis dan sosio-ekonomis (Bakar, 2011). Tetapi, keluarga dalam Islam dipandang utama dan pertamanya sebagai lembaga religius dengan pemahaman kata ‘religius’ (dīn) dalam arti luas sebagaimana yang ditetapkan dalam Al Quran. Pernikahan yang sah dalam agama antara orang tua melambangkan komponen dan dimensi yang terpenting dalam keluarga. Akad suci tersebut adalah bagian dari rencana Tuhan untuk menjadikan manusia sebagai manajer planet bumi dalam menunaikan tujuan manusia di bumi itu sendiri, yakni sebagai persiapan untuk kehidupan setelah mati (posthumous life). 

Tuhan tidak hanya memerintahkan untuk melangsungkan pernikahan tetapi juga memberikan petunjuk dalam Al Quran untuk merealisasikan pernikahan yang langgeng dan bahagia. Terlebih lagi, Tuhan menginginkan pernikahan sebagai salah satu dari tanda-tanda kebesaran-Nya melalui pemberian rasa tenteram, kasih dan sayang antara hubungan suami dan istri (Q.S. 30:21). Maka peran orang tua adalah meneruskan pemberian—mendidik anak dengan kasih sayang. 

Selain itu, penguatan keluarga sebagai institusi religius dan sosial dapat dibantu oleh keluarga luas (extended family). Al Quran menempatkan kerabat dalam struktur sosial sebagai senior citizen dalam mempertahankan dan meningkatkan nilai kekeluargaan. Dalam hal ini orang tua dapat mendidik anak melalui kewajiban moral dan material keluarga terhadap kerabat, firman-Nya yang menunjukkan kewajiban moral untuk berbuat baik kepada orang tua dan kerabat:

Dan (ingatlah) ketika Kami Mengambil janji dari Bani Israil, “Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat...” (Q.S. 2:83).

Ayat lainnya menunjukkan kewajiban memberi bagian dari hartanya untuk kerabat:

Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, ...“ (Q.S. 2:177).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun