Mohon tunggu...
Hatfan Hizriyan Syaidan
Hatfan Hizriyan Syaidan Mohon Tunggu... Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia -

Mahasiswa jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kaum Marginal Kota yang Sebenarnya Kreatif, Salah Terus atau Salah Urus?

8 Februari 2016   16:46 Diperbarui: 8 Februari 2016   22:04 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mencoba mengenang kembali interaksi dengan penduduk pinggiran kota selama sebulan lebih di tiap minggunya, mata saya—terlebih hati dan pikiran—terbuka dan memperoleh sudut pandang baru. Program kami, saya nilai berhasil. Apa indikatornya? Meskipun belum tuntas sampai panen, ada fenomena unik yang kebetulan terlihat oleh mata saya sendiri. Anak-anak itu, selepas sosialiasi dari kami, menunjukkan antusiasme dan kreativitasnya. Mereka memunguti, bahkan ada beberapa di antaranya menyeruak, menyibak-nyibak tumpukan sampah plastik di suatu sudut; mencari botol dan gelas plastik yang masih patut. Kemudian mereka melubangi persis seperti yang disosialisasikan teman saya. Setelah itu menghampiri saya, yang bertugas menaruh arang sekam ke dalam botol-botol, dan meminta arang sekam. Lalu menghilang untuk membawa pulang. Saya sempat menanyakan mereka untuk apa, ada tersahut jawaban, “Untuk ditanam lagi kak di rumah.” Secepat itu ternyata pengaruhnya.

Itu baru salah satu contoh kreativitas dari orang pinggiran. Jika menilik lebih jauh lagi sewaktu survei dan mewawancarai beberapa penduduk setempat, ada seorang ibu yang baru pindah beberapa bulan yang lalu ke Jakarta dan sudah membuka warung mie instan serta pelengkap kebutuhan sehari-hari. Terdengar biasa? Lihat siapa pelakunya.

Mungkin kalo saya yang buka warung sendiri akan terlintas banyak keraguan serta pertanyaan. Seperti: berapa modalnya? Berapa rata-rata persediaan yang harus di stok agar inventory turnover efisien? Kapan akan break even point? Apa saja langkah strategis dalam rangka maximizing profit? Dan ibu itu melakukan tanpa merepotkan diri memikirkan segudang pertanyaan. Bahkan ada seorang bapak yang bekerja sebagai pembuat dudukan kalung, cincin, gelang di etalase toko perhiasan. Bisa dibayangkan jika tanpa bapak ini — dan semua bapak pembuat dudukan perhiasan — kalung permata akan seperti jembrengan baju di pasar-pasar kaget dan cincin emas berkarat-karat akan ditaruh di kotak perkakas kayu tempat mur otopet.

Dalam sebuah video yang penuh inspirasi dari, seorang aktivis kemanusiaan, Mia Birdsong berpendapat:

Marginalized communities are full of smart, talented people, hustling and working and innovating, just like our most revered and most rewarded CEOs. They are full of people tapping into their resilience to get up every day, get the kids off to school and go to jobs that don't pay enough, or get educations that are putting them in debt. They are full of people applying their savvy intelligence to stretch a minimum wage paycheck, or balance a job and a side hustle to make ends meet. They are full of people doing for themselves and for others, whether it's picking up medication for an elderly neighbor, or letting a sibling borrow some money to pay the phone bill, or just watching out for the neighborhood kids from the front stoop.”

Dan ini nyata!

Pendapat umum dan pandangan sebelah mata telah lama meyakinkan kita bahwa orang miskin adalah masalah yang mesti dibenahi. agaimana jika kita mengakui bahwa orang miskin bukan letak kesalahan tetapi pendekatan kita yang perlu perbaikan?

Satu hal yang kerap dan keras digaungkan, mereka tinggal di slum area yang ilegal—katanya, dan mengganggu ketertiban. Pun jika dirunut, benang merahnya akan sampai pada pabrik-pabrik yang dibangun di atas sawah petani desa, kebun-kebun teh yang diratakan untuk mendirikan vila, dan faktor-faktor lain yang mengakibatkan urbanisasi marak terjadi.

Bapak dosen kami, tempat kami berkonsultasi, pernah mengatakan, “Problem dan solusi penduduk marginal Ibu Kota ada di desa.” Saya pun menyetujui sepenuhnya pendapat beliau jika melihat dari kenyataan kausalitas pengentasan kemiskinan di Ibu Kota yang cenderung mengentaskan orang miskin itu sendiri—gusur. Mungkinkah ini jawaban konkret dari pertanyaan di atas? Indeed.

Di penghujung, saya pribadi pun menginginkan program, yang telah saya dan teman-teman mulai, ini bisa kami lanjutkan di desa atau daerah yang lebih stabil posisinya secara berkesinambungan sehingga kami dan institusi third party lainnya bisa turut membantu peran mulia pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan.

Dan harapannya kita semua bisa merumuskan program pengentasan kemiskinan dari sudut pandang baru, menggunakan sumber daya yang paling powerful, praktikal dan kreatif: yaitu orang miskin itu sendiri.

Semoga saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun