Mohon tunggu...
Hastira Soekardi
Hastira Soekardi Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu pemerhati dunia anak-anak

Pengajar, Penulis, Blogger,Peduli denagn lingkungan hidup, Suka kerajinan tangan daur ulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Operasi Tangkap Tangan

4 Maret 2021   02:30 Diperbarui: 4 Maret 2021   02:48 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : https://www.mimbar-rakyat.com

Aku merasa semua hasil kerja kerasku mulai tampak hasilnya. Pembangunan di beberapa desa sudah mulai tampak kemajuan. Selama daerah ini dipimpin aku, banyak kemajuan yang bisa terlihat. Sudah banyak wacana agar aku bisa dua periode. Tapi aku tak menggubris semua itu, yang aku pikirkan bagaimana semua daerah bisa maju. Semuanya di segala bidang. Semua anggaran benar-benar aku buat seefisien mungkin. Jangan sampai ada bocor di sana sini agar semua bisa kebagian pembangunan. Dan aku juga menutup segala macam suap mneyuap dalam banyak proyek. Dan ini memang membuat banyak orang kebakaran jenggot. Tapi aku tak bergeming. Malah ada yang sudah menggadang-gadang pilihan mereka untuk pilkada yang masih dua tahun lagi. Tetap aku foksu sama tujuan aku semula, membangun desa.

Namaku mulai berkibar bahkan sampai nasional. Siapa tak kenal dengan bupati Trenggono yang bisa terjun ke masarakat, pembangunanya berhasil dan masih banyak puja puji di sana -- sini.

            "Pak, bagaimana mau maju lagi di pilkada berikutnya? Atau mau jadi gubernur?"

            "Wah, lihat nanti saja, yang sedang aku pikirkan hanya menyelesaikan tugasku sampai selesai."

            "Jangan begitu pak, banyak loh orang yang mendukung bapak, bahkan kalau perlu ke jabatan gubernur. Aku hanya tersenyum. Tapi memang godaan selalu ada saat kita ada di puncak karier. Hari ini ada tamu dari pusat yang katanya bawa investor untuk berinvestasi di daerahku untk membangun pabrik. Aku mendengarkan paparan dari orang pusat bersama investornya. Tampaknya bagus diluarnya, tapi itu harus mengambil lahan pertanian masarakat. Dan itu tak boleh terjadi di lahan yang masih produktif.

            "Gimana kalau di daerah Mekarsari. Di sana bagus untuk bangun pabrik."

            "Tempat itu gak strategis."

            "Loh , namanya pabrik kan gak butuh itu yang penting ada lahan yang luas. Dan ini lahan yang memang gak bisa digunakan untuk pertanian. Tanah gersang,"tukasku

            "Loh, kenapa tanah gersang?'

            "Emang pabrik harus tanah subur. Tanah subur itu tak boleh dialihfungsikan menjadi apapun. Itu sumber pangan masarakat,"tukasku kembali. Mereka pulang dengan tangan kosong. Tapi ternyata mereka kembali lagi dengan banyak iming-iming. Mereka menyodorkan uang begitu banyak dalam kopor besar.

            "Ini rumah juga bisa jadi milik bapak,"tukas orang pusat sambil memperlihatkan brosur perumahan elite. Dan masih bnayak lagi yang disodorkan ke aku. Semua bisa membuat gelap mata. Apalagi aku , selama ini aku hanya makan denagn upahku gak lebih. Dan hasilnya aku tak punya rumah mewah seperti pejabat-pejabat lainnya. Mobilku juga bukan mobil mewah. Dan iming-iming ini sering mencobai diriku.

Entah engapa aku sudah berada di sebuah hotel bintang lima. Bersama diriku ada orang pusat dan investor.

            "Jadi gimana , bapak berubah pikiran?

            "Ya, tapi apa di sini  aman?"

            "Tenang, sudah dicek semua tak ada yang mengikuti kami." Aku melihat tas berukuran besar dan sertifikat tanah dan rumah mewah yang ditawarkan dan janji akan mendukungku menjadi gubernur.

            "Jangan bergerak." Tiba-tiba saja ada beberapa polisi dan orang yang sudah mengepung mereka berempat. Aku terduduk lemas. Aku digiring ke kantor polisi.

            "Ah, bapak, selama ini bapak jujur,akhirnya bapak terjerumus juga." Aku terdiam , keringat dingin mulai mengalir. Kenapa aku lakukan ini? semua reputasiku hilang semuanya. Apa yang aku lakukan selesai sudah. Titik. Aku mulai diinterogasi dan semua itu menakutkan bagiku. Penyidik itu memberikan pertanyaan dengan menekan , yang membuatku menjadi bingung. Aku mulai hiseris dan berteriak.

            "Pak, bangun, kenapa teriak-teriak?" tanya istriku. Aku terduduk dan melihat sekelilingku. Kamar tidurku. Lalu tadi?

            "Mungkin bapak tadi mimpi, tidurlah lagi." Untung hanya mimpi bagaimana kalau benar terjadi. Semua reputasiku akan hilang. Aku janji akan menolak lagi tawaran mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun