Mohon tunggu...
Hastira Soekardi
Hastira Soekardi Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu pemerhati dunia anak-anak

Pengajar, Penulis, Blogger,Peduli denagn lingkungan hidup, Suka kerajinan tangan daur ulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kesedihan Biji

6 Agustus 2020   02:30 Diperbarui: 6 Agustus 2020   02:33 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : https://torcy88.wordpress.com

Teryata diriku sebagai sebuah biji digunakan untuk menumbuhkan tanaman baru. Dari bijilah akan tumbuh tanaman baru. Dari biji yang berkualitas baiklah yang akan menumbuhkan tanaman yang baik. 

Perjalanan panjang dari diriku. Dulunya aku tiada. Tapi semenjak tanaman mulai berbunga dan tanaman akan membentuk biji. Lahirlah diriku. Diriku yang akan menjadi bibit. 

Biji mulai dipilah-pilah mana yang baik, mana yang buruk. Manusia akan merendam biji dalam air. Jika mengambang artinya kualitas biji jelek. Aku tahu itu. Makanya saat biji-biji yang dihasilkan direndam dalam air, aku berusaha untuk memberatkan tubuhku agar tenggelam.

"Percuma, cara itu tak bisa. Kalau kualitas jelek tetap saja akan mengapung," tukas sebuah biji di sampingku.

"Iya, aku tahu, tapi gak ada salahnya kan, aku berusaha agar benar-benar tenggelam. Aku tak mau jadi bagian yang tak berguna." Aku mulai bergerak-gerak dengan kuat agar tubuhku tenggelam. Akhirnya aku sampai di dasar wadah. Leganya.

Kini aku menunggu semalaman untuk berada dalam wadah. Aku masih bernafas lega karena aku masih bersama teman-teman yang lain. Ah, senangnya. Coba kalau aku dibuang tentunya hidupku akan menjadi sia-sia dan tak ada teman lagi. 

Tak lama berselang ada tangan yang mengambil biji-biji itu dan menaruhnya dalam beberapa tempat. Dan aku mulai dipendam dalam tanah. Gelap sekali. Aku sendirian, tak ada temanku lagi. 

Aku mulai ketakutan. Semua gelap. Tanah itu sudah menutupi seluruh tubuhku dan aku mulai sesak. Tak bisa bernafas lega. Setiap saat aku mendengar suara percikan air, tanda aku disiram agar cepat tumbuh. Tapi mereka tak tahu, aku kedinginan sekali. Tubuhku menggigil.

"Tolong," aku mulai berteriak

"Siapa itu?" ah, ternyata aku ada temannya.

"Kamu ada di mana?

"Di pot sebelah kamu." Syukulah aku masih punya teman, sedikit hilang rasa takutku.

"Di sini gelaap sekali," tukasku.

"Sabar, kalau kita sudah mulai berkecambah dan tumbuh kita akan bertemu dengan sinar mentari." Betul juga. Aku harus sabar. Dan aku yakin aku akan bertumbuh karena pemilik tanaman selalu rajin menyiram diriku.

Benar saja ada bagian yang bertumbuh di tubuhku. Warnanya hijau muda. Perlahan mulai bergerak naik ke atas.

"Lihat aku mulai bertumbuh," teriakku kegirangan. Dan aku sudah mulai melihat sedikit cahaya mentari. Temanku juga sudah mulai betumbuh. 

Aku begitu gembira. Apalagi pemilik tanaman juga bersukacita. Ah, indahnya hidup ini. Tapi tak berapa lama tiba-tiba ada hewan besar datang dari atas. Terbang menukik ke bawah dan mulai memakan daun-daun kecil di tubuhku, aku meronta kesakitan.

"Jangan robek diriku. Jangan. Biar aku tumbuh." Tapi hewan itu tetap saja menggerogoti tubuhku sampai daunnya habis dan aku kehilangan nyawaku. Aku mulai sesak nafas. Kejam sekali belalang telah melahap semua daun muda yang baru tumbuh. 

Kini semua hilang. Tinggal aku menjadi biji yang tak akan bisa bertumbuh lagi dan akan membusuk seiring waktu. Malangnya nasibku. Pemilik tanaman menatap sedih. Dan mulai mencampakkan aku keluar dari dalam tanah dan menggantikan dengan biji yang baru. Nasib malang menimpa diriku. Belum bisa bermanfaat tapi harus menjadi sampah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun