Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kegagalan Pembangunan Kab/Kota Pemekaran dan Otoda

14 September 2010   09:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:15 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diharapkan kedepan, otonomi daerah lebih mengerucut lagi ke otonomi desa, diperlukan UU baru tentang Otonomi Desa Mandiri (berbasis komunal) atau amandemen UU No.32/2004 tentang Otonomi Daerah (revisi kedua). Artinya otonomi jangan terputus sampai di tingkat kab/kota saja. Bila tidak demikian, mustahil otonomi bisa berjalan sesuai dengan harapan bersama. Bila demikian akan tercipta raja-raja kecil “tanpa kerajaan” di daerah, terbentuk karena egoism, ini merupakan fenomena yang terjadi atau hambatan tumbuh berkembangnya cita-cita otonomi itu sendiri. Karena masyarakat desa (akar rumput), dilibatkan semata hanya formalitas belaka.

Termasuk kenapa daerah (kabupaten) pemekaran tidak atau lambat berkembang. Karena peran masyarakat terdepan (akar rumput) tidak dimaksimalkan (virus raja-raja kecil), terjadi copy paste system (tanpa perubahan yang berarti) sebagai daerah atau wilayah segar atau perawan SDA yang mudah diinisiasiatau copy paste mental korup dari kabupaten induk, ini yang menggerogoti para pengelola daerah tersebut.Ini pula merupakan hambatan sampai tidak terjadi pengelolaan SDA dan SDM yang maksimal, malah diabaikan karena terkait kepentingan person/kelompok. Jadi sangat wajar bila pemerintah c/q Menteri Dalam Negeri menghentikan proses pembahasan pemekaran wilayah kabupaten sampai dengan tahun 2015.Perlu kembali dievaluasi daerah yang sudah mekar, bila gagal, bergabung saja ke induknya kembali. Bila tidak akan terjadi pemborosan anggaran, kesempatan korupsi menganga lebar di daerah. Sesungguhnya kegagalan pembangunan bukan karena minimnya anggaran yang turun ke daerah, tapi anggaran terlalu banyak disektor pengadaan barang dan jasa (ini rawan korupsi), dan yang terheboh adalah, hampir setengah anggaran (APBN/APBD) masuk ke sector pengaturan (korupsi). Cuma belum terexpos, karena KPK belum banyak menyentuh ke daerah kab/kota. Polisi dan Kejaksaan di daerah masih diragukan, ditengarai banyak main mata dengan pejabat yang bersangkutan. Ini semua merupakan bom waktu, setiap saat pasti meledak, sedahsyat ledakan “tabung gas” elpiji 3 kilogram.

Grand Design Penataan Wilayah

Grand design penataan wilayah yang dipersiapkan pemerintah ke depan dalam pembentukan/ pemekaran daerah baru baik provinsi maupun kabupaten/kota, dengan dua pendekatan. Yaitu,

1.Membentuknya dengan menggunakan perhitungan berdasarkan parameter geografis, demografis, dan ke-sistem-an sesuai kerangkapikir pembentukan daerah tersebut.

2.Menggunakan pertimbangan realita aspirasi yang ditarik dari dinamika usulan pembentukan daerah baru yang berkembang hingga saat ini.

Berdasarkan dua pertimbangan tersebut, pemerintah c/q Kementerian Dalam Negeri menetapkan, dari tahun 2010 s/d 2025 di Indonesia hanya di estimasi ada penambahan jumlah maksimun Daerah Otonomi Baru (DOB) untuk provinsi sebanyak 11 dan 54 kabupaten/kota.

Solusi Masalah

Solusi dari kesuksesan otonomi daerah (menghindari raja-raja kecil) atau tumbuh berkembangnya wilayah (kabupaten) pemekaran adalah diperlukan (perubahan system) selain yang menjadi harga mati adalah “kejujuran atau moral” pengelola negara/daerah. Tidak kalah pentingnya adalah aktualisasikan “Otonomi Desa Mandiri” sebagai pendukung utama pelaksanaan atau kesuksesan otonomi daerah, otonomi jangan terhenti di Kab/Kota. Libatkan secara ril masyarakat terdepan (desa) dengan berbasis komunal, jangan libatkan masyarakat secara formalitas saja (fakta yang terjadi pada pelaksanaan PNPM, BLT atau program lainnya), dengan basis komunal dipastikan akan tumbuh partisipasi dan krestivitas masyarakat, karena muncul rasa memiliki dan tanggungjawab didalamnya.

Solusi ini memang tidak disukai oleh “person” yang bermental koruptor, karena peluang atau kesempatan korupsi sangat minim, bisa jadi tidak ada, karena Pengelolaan dana (APBD) akan terkontrol langsung oleh masyarakat. Otonomi Desa ini pula merupakan pemicu (benih) tumbuh berkembangnya kelompok usaha baru atau home industri di tengah masyarakat akar rumput, bukankah ini merupakan harapan bersama, menuju kesejahteraan yang berkeadilan. Semoga bisa dipertimbangkan. Bagaimana?

AsrulHoeseinBrother, GIH Foundation

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun