Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menyingkap Tabir Regulasi Sampah Indonesia

23 Januari 2018   18:00 Diperbarui: 2 Januari 2019   15:05 4226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi foto: (Dian Maharani/Kompas.com)

Menanggapi berita "Problemnya Di Regulasi, Presiden Jokowi: Belum Ada Kota Yang Berhasil Tangani Sampah", serta menyimak pernyataan serta arahan Presiden Joko Widodo pada rapat terbatas (ratas) kabinet kerja dalam membahas masalah sampah di Kantor Presiden, Jakarta (23/6/2015), sungguh miris mendengarnya. Karena diduga mendapat informasi yang keliru dari pembantu-pembantu presiden. 

Khususnya informasi dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ibu Dr. Siti Nurbaya Bakar, dimana kementerian ini sebagai leading sector yang mengurus persampahan dan lingkungan di Indonesia, disamping beberapa kementerian lainnya yang saat ini ikut pula beramai-ramai. Sehingga nampah seksi urusan sampah zaman now, termasuk banyak ahli-ahli sampah dadakan yang muncul, bagaikan pahlawan di siang bolong. (Baca: Ketika Isu "Sampah" Mendadak Seksi di Kabinet Jokowi)

Dalam ratas kabinet Jokowi, Presiden Joko Widodo menyebutkan, di Indonesia, problem-problem yang ada lebih banyak di sisi regulasi. "Saya pernah mencoba menjadi walikota, kesulitan karena regulasi kita yang ruwet. Di DKI juga sama, karena regulasi yang ada," ujarnya. (Ikuti dan simak Jokowi Bicara Sampah Klik  YouTube di Sini dan Berita Humas Setkab. Klik di Sini).

Pernyataan tentang regulasi sampah Pak Jokowi pada ratas kabinet kerja pertama tersebut, sungguh menarik, karena ternyata Pak Jokowi sendiri merasakan keruwetan regulasi sampah itu sendiri. Baik pada saat Walikota di Solo maupun saat Gubernur DKI Jakarta.

Kenapa bisa ruwet (pakai istilah Pak Jokowi), karena memang senyatanya pemerintah pusat melalui KLHK, diduga menutup informasi dan arahan pada ruang regulasi agar pemerintah daerah (pemda) kabupaten dan kota untuk berkreasi, tidak serius menjalankan regulasi, terkesan membuka ruang "kesempatan" permainan yang sengaja tidak diaplikasi dengan terbuka. Ahirnya pemahaman dan tradisi ini menjangkit ke seluruh seluruh Indonesia, itu terjadi sampai sekarang. Akibat ini pula sehingga setiap ide atau gagasan dari masyarakat terhambat, ruang ide tertutup oleh oknum-oknum di KLHK itu sendiri. Presiden Joko Widodo sendiri mengatakan bahwa "Tidak ada daerah yang berhasil mengurus sampahnya, tidak ada". 

Itulah penyebabnya sehingga tidak ada satupun daerah di Indonesia yang full menjalankan regulasi dengan benar. Dugaan bahwa ide-ide masyarakat sengaja dipersulit oleh oknum birokrasi agar pengelolaan sampah tetap dimonopoli dengan pola paradigma lama. Agar tetap seenaknya melakukan pengelolaan secara terpusat atau sentralisasi. Dengan paradigma lama yang sentralistik ini, banyak dana-dana sampah mudah dipermainkan. Termasuk permainan dana tipping fee.

Kondisi keruwetan ini bisa saja menjangkiti seluruh pemda di Indonesia, kecuali ada pemda yang kritis dan berani berbeda dalam menyikapi regulasi persampahan dan tidak menunggu arahan dari pemerintah pusat. Tapi kalau pemda sendiri acuh tak acuh, apalagi ada dengan mudah menemukan sebuah atau beberapa ruang "permainan" di persampahan ini, maka terjadilah stagnasi dalam mengemban amanat regulasi sampah itu sendiri. Seperti yang terjadi sampai sekarang. 

Fakta mungkin 90% kabupaten dan kota di Indonesia belum pernah menyentuh atau merevisi bahkan belum menerbitkan perda pengelolaan sampahnya sejak UU.18 Tahun 2008 efektif berlaku pada tahun 2013. Sehingga pengelolaan sampah di semua daerah di Indonesia semacam pekerjaan monoton saja.

Sebenarnya Pak Jokowi sudah melakukan perubahan mendasar untuk mengikuti arah regulasi dan berani berinovasi mengelola sampah Jakarta, sampai mengganti tiga kali  kepala dinas kebersihan Jakarta dalam waktu singkat sebelum menjadi presiden, ditengarai kepala dinas saat itu tidak mampu mengikuti arah dan kemauan Pak Jokowi yang akan melakukan perubahan drastis dalam menyelesaikan sampah Jakarta yang semakin menggunung, sekitar 6.500 ton/hari.

Pak Jokowi sebenarnya sangatlah faham mengenai sampah. Fakta, telah membuat terobosan besar mengatasi sampah Jakarta. Dimana tahun pertama menjadi Gubernur DKI Jakarta, peraturan daerah (perda) pertama yang di teken Pak Jokowi (10/6/13) setelah dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta, adalah Perda No.3 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Sampah Jakarta (Pengganti atau Revisi Perda No.5 Tahun 1988 tentang Kebersihan Lingkungan Dalam Wilayah DKI Jakarta). 

Lalu pada saat itu, atas usulan penulis yang berparner dengan dua orang sahabat, yaitu Dr. Ing Benjamin Abdurrahman dan Wilda Yanti, melalui sebuah presentase pengelolaan sampah Jakarta di Balaikota Jakarta dan Gedung BKSP Sunter Jakarta Utara,  maka terbentuklah sebuah program "Jabodetabekjur Zero Waste" dengan bekerja dibawah koordinasi Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur, dibawah komando tiga gubernur (Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta), untuk menangani 15 kabupaten dan kota, dalam menyiapkan program pengelolaan sampah berbasis kawasan. 

Tapi ahirnya stag, karena dukungan internal birokrasi sendiri sebagai eksekutor dan lintas kementerian kurang respon. Ini pengalaman langsung penulis bersama Pak Jokowi dalam menangani sampah Jakarta dan sekitarnya, karena pada saat itu, kebetulan penulis dipercaya sebagai Sekretaris Tim Manajemen Program Jabodetabekjur Zero Waste dengan Surat Keputusan BKSP (2013-2023), waktu itu BKSP diketuai oleh Gubernur Jawa Barat.

Presiden Jokowi dan Wapres JK (Foto: Humas Setkab)
Presiden Jokowi dan Wapres JK (Foto: Humas Setkab)
Bukan Salah Regulasi, Tapi Salah Kelola Regulasi

Regulasi sampah Indonesia sudah sangat tepat dan up to date. Justru yang bermasalah adalah birokrasi pelaksananya saja. Pak Jokowi, tidak perlu perlu perbaiki regulasi sampah, hanya mental pelaksana yang mis-regulasi dan diduga koruptif, itu yang perlu di restorasi. Penulis menduga Menteri LHK, Ibu Dr. Siti Nurbaya Bakar mendapat informasi AIS (Asal Ibu Senang) dari oknum tertentu, info itu bisa datang dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 (Ditjen PSLB3) atau oknum-oknum dari Direktorat Pengelolaan Sampah pada Ditjen PSLB3 KLHK. 

Penulis yakini itu, karena beberapa kebijakan penulis sempat kritis dan sumbang-saran secara langsung kepada KLHK khususnya pada Ditjen PSLB3 yang membidangi persampahan, antara lain kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB), Perpres 18 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pembangunan PLTSa, Pelaksanaan Adipura dll. Karena penulis menduga semua ini terjadi mis regulasi dan diduga terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Makanya itu penulis sangat paham, bahwa bukan regulasi yang bermasalah, tapi oknum-oknum di kementerian yang bermasalah, termasuk di pemda kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.

Berdasar kondisi laporan yang tidak valid tersebut, maka sampai juga tentunya kepada Presiden Jokowi bahwa regulasi yang mengganggu pengelolaan sampah di Indonesia. Alibi dari informasi ini adalah terbitnya Perpres 18 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya dan Makassar. 

Padahal walau tanpa perpres ini, bisa saja terjadi pembangunan infrastruktur persampahan dengan berdasar regulasi yang ada terdahulu. Namun Perpres 18 Tahun 2016 tentang PLTSa inipun telah digugat oleh Koalisi Nasional Tolak Bakar Sampah (penulis termasuk salah seorang penggugat didalamnya) ke Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2016 dan selanjutnya MA mencabut perpres listrik sampah tersebut.

Sampai sekarangpun KLHK yang dikuatkan oleh Kemenko Bidang Kemaritiman dan Kemenko Bidang Ekonomi, Kementerian ESDM tetap selalu berusaha memunculkan dan/atau berkeinginan menerbitkan kembali perpres listrik sampah dengan segala upayanya, seakan dipaksa-paksakan (begitu kami baca disetiap presentase kementerian tentang PLTSa ini). Sungguh kasian dan muak melihat tingkah-polah oknum birokrasi seperti ini.

 Semoga Presiden Jokowi tidak menyetujui lagi kebijakan yang mis regulasi itu. Karena pelanggaran atas UU.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah ini berpotensi digugat secara pidana, bukan hanya menggugat pencabutan atau pengguguran di Mahkamah Agung. Ingat bahwa Pasal 13 UU. 18 Tahun 2008 itu menggunakan prasa "wajib". Sangat memungkinkan penggunaan upaya pidana bagi pelanggaran undang-undang persampahan ?!.

Perlu penulis jelaskan bahwa regulasi sampah sudah sangat komprehensif. Perundangan utama persampahan adalah UU.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. sesungguhnya undang-undang ini sudah mempunyai turunan untuk pelaksanaannya di daerah, hanya perlu dikuatkan dengan perda yang mengacu pada regulasi sampah nasional, antara lain turunannya :

  1. Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
  2. Permendagri 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah (namun permendagri ini sudah dicabut oleh Mendagri Tjahjo Kumolo pada bulan Juni 2016), Pencabutan ini keliru karena tanpa alasan yang jelas oleh kemendagri. Permendagri ini sangat dibutuhkan untuk pedoman pemerintah daerah dalam mengelola sampah. juga menjadi kekuatan pemda untuk bergerak dalam mengawal UU.18 Tahun 2008 tsb. Maka sepantasnya permendagri ini dihidupkan kembali (sebagai catatan dan usulan).
  3. PerMen LH No. 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse dan Recycle melalui Bank Sampah (permen ini juga seperti dilacikan oleh birokrasi)
  4. Permen PU Nomor 3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (permen ini hampir tidak dilirik dan diaplikasi oleh KLHK dan PUPera sendiri secara serius)
  5. Regulasi penunjang lainnya  misalnya tentang limbah Berbau, Berbahaya dan Beracun (B3) Industri, Limbah medis dll. semua sudah ada dan lengkap, hanya perlu disinergikan antar turunan regulasi tersebut. Nah bila pengelolaan sampah B3 dan Medis atau rumah sakit ini dijalankan, tanpa mengikuti arah regulasi induk. Maka jelas sebuah pelanggaran pidana.

Makanya selalu penulis dalam kapasitas sebagai pemerhati sampah, sampaikan di setiap pertemuan dengan pemerintah dan pemda termasuk di banyak tulisan atau opini, media cetak mainstream lainnya dan media elektronik, bahwa regulasi sampah sudah cukup bagus dan komprehensif. Cuma regulasi ini tidak dijalankan dengan benar dan fokus oleh pemerintah dan pemda, khususnya Pasal 13 UU. 18 Tahun 2008.tersebut. 

Pasal 13 ini seperti dilacikan, karena menjadi "pencegah" perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme secara massif. Karena out put Pasal 13 ini adalah setiap pengelola atau penguasa kawasan wajib memilah dan/atau mengelola sampahnya dengan melibatkan masyarakat sekitarnya. Jelas terjadi minimalisasi sampah ke Tempat Pembuangan sampah Ahir (TPA), bahkan akan terjadi minimasi sampah ke Tempat Pembuangan sampah Sementara (TPS). 

"Pengelolaan sampah di luar negeri, termasuk beberapa negara yang pernah  penulis survey, semua mencerminkan regulasi sampah Indonesia, termasuk  Singapore, Korea Selatan, Jepang, Thailand. dll. Kadang penulis iri pada  negara-negara tersebut, karena sepertinya mereka copas regulasi  Indonesia, dimana kita tidak menjalankannya. Tapi ternyata dalam amatan penulis di luar negeri, orientasi  birokrasi luar negeri itu pada proses, mereka menghargai proses, bukan  pada hasil. Walau mereka tidak miliki seabrek regulasi seperti Indonesia. Mereka jujur dan berkarakter dalam menjalankan tugasnya. Itu perbedaan signifikan dengan Indonesia, yang berorientasi hasil. Ujungnya terjadi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme"

Kenapa dan Ada Apa Pasal 13 UU.18 Tahun 2008 terkesan di"musuh"i oknum birokrasi dan mitranya ?
Karena bila Pasal 13 ini dijalankan, maka:

PERTAMA; Pengelolaan sampah tidak sepenuhnya dikuasai oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan, tapi akan diserahkan sebagian pekerjaan itu di masing-masing kawasan (sesuai bunyi pasal tersebut), atau kepada kelompok pengelola sampah atau pengelola Bank Sampah, tentu dengan koordinasi Camat, Lurah/Desa. SKPD terkait lebih berfungsi atau memiliki tugas pada fasilitasi, monitoring dan evaluasi yang tidak lagi menjadi eksekutor utama. Tantangannya; karena otomatis fulusnya kurang ditingkat SKPD dan/atau Bupati atau Walikota untuk dikuasai. Terjadi penyerahan sebagian besar urusan persampahan kepada pemerintah terdepan (Camat/Desa/Kelurahan), Silakan baca semua regulasi yang telah penulis sebut diatas.

KEDUA; Secara bertahap, sampah sangat minim diangkut ke TPA, karena dikelola dikawasan, dengan prinsip sampah hari itu diselesaikan hari itu juga. Artinya angkutan sampah ke TPA ini, banyak dana terserap dan potensi dipermainkan dalam anguktan sampah, termasuk pengadaan mobil atau sarana angkutan sampah lainnya, semua ini tidak diinginkan oleh SKPD terkait.

KETIGA; Dana pengelolaan sampah di TPA akan berkurang (berarti minim peluang permainan di TPA). Bila operasionalisasi sampah terpusat di TPA, sangat banyak dana bisa menguap dan memang sangat mudah dipermainkan, yaitu mulai dari tiping fee, pengadaan alat berat, permainan volume sampah yang masuk yang diangkut dan tidak diangkut ke TPA (permainan angkutan) sampai kepada permainan Dana Kompensasi Warga Terdampak TPA. Dana-dana semua ini sangat rentan dipermainkan oleh oknum-oknum terkait dalam pengelolaan sampah.

Masih banyak indikasi lain (pengadaan prasarana dan sarana persampahan dll) atas ketidaksetujuan birokrasi elit bila Pasal 13 ini dijalankan dengan jujur dan bertanggungjawab. Peluang atau kesempatan untuk kongkalikong antara penguasa dan pengusaha akan hilang, karena terjadi pencegahan korupsi oleh pelaksanaan Pasal 13 UU 18 Tahun 2008 tersebut.

Padahal, bila Pasal 13 UU.18 Tahun 2008 dilaksanakan dengan benar berarti akan terjadi progres "Paradigma Baru Kelola Sampah" atau "Stop Sampah ke TPA" atau terjadi optimalisasi fungsi TPS. Secara otomatis akan terbuka lapangan kerja baru dan sumber ekonomi baru masyarakat dan termasuk sumber PAD baru bagi daerah yang bersangkutan. Begitu hebatnya regulasi sampah bila di jalankan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Beginilah seharusnya amanat regulasi persampahan yang ada itu. Sungguh hebat regulasi sampah ini yang merupakan produk pemerintahan SBY-JK pada tahun 2008. Regulasi yang baru pertama kali terbit sejak Indonesia Merdeka.

Sesungguhnya apa yang Presiden Jokowi harapkan agar pengolahan sampah ini dapat menjadi sebuah program yang sangat penting dan pengelolaannya bisa dilakukan terpadu, sistemik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha. Itu tidaklah susah bila stakeholde persampahan Indonesia (pusat dan daerah) kembali sadar menjalankan perundang-undangan yang ada. "Yang paling penting, pengolahan sampah memberikan manfaat baik secara ekonomi dan tentu saja sehat lingkungan bagi masyarakat, Dan yang paling penting, dapat mengubah perilaku masyarakat," tegas Presiden Jokowi. Apa yang diungkapkan Presiden Jokowi ini, adalah amanat regulasi itu sendiri.

"Pertanyaannya, dimana letak "Permasalahan dan Kekurangan Regulasi Sampah ini, yang dipersoalkan ? Kenapa setiap kebijakan KLHK mendapat resistensi, ya karena melabrak regulasi sampah yang pro-rakyat, pro-pengusaha, pro-industri serta pro-investasi. Terkecuali tidak Pro-Koruptor. Itulah napas dan kehendak regulasi sampah yang ada sejak tahun 2008"

Pelaksana Regulasi Sampah Perlu Revolusi Mental

Harapan penulis menyingkap tabir regulasi sampah Indonesia ini, agar semua pihak membuka mata dan telinga dalam mengatasi sampah yang penuh intrik-intrik, juga semata untuk mengungkap kebenaran. Jangan sampai Presiden Jokowi ikut larut dalam ketidakpastian menyikapi persampahan ini. 

Terkhusus dengan adanya tulisan ini, masyarakat memahami kondisi persampahan Indonesia yang sebenarnya, serta memahami hak dan kewajibannya dalam menyikapi sampah. Masyarakat mempunyai hak dalam regulasi sampah, bukan cuma kewajiban semata. Karena tanpa menjalankan regulasi sampah tersebut mustahil target pemerintah tercapai pada tahun 2020 untuk Indonesia Bebas Sampah.

Coba bayangkan Ratas Pertama Kabinet Kerja Jokowi-JK pada tahun 2015 (terlampir YouTube Ratas Kabinet) sampai pada Ratas Kabinet Teakhir di Bandung(16/1/2018). Dari ratas pertama dan terakhir, tidak ada perubahan substansi bahasan, semisal evaluasi program yang telah berjalan atas follow up ratas pertama. Ingat antara ratas pertama dan terahir itu pemerintah pusat sabang hari rapat, FGD, seminar dan semacamnya hanya mencari dan mencari solusi, kami fahami semua ini.

 Karena penulis sering pula diundang sebagai narasumber atau peserta. Solusi yang diberikan oleh masyarakat (termasuk solusi dari penulis) itu diabaikan. Kenapa diabaikan, ya karena solusi berbasis Pasal 13 tersebut. Itu masalahnya. Maka sejarah mencatat, solusi cerdas dan amanah yang penulis sumbangkan pada republik ini, tersimpan rapi, dilaci-laci oknum tertentu masing-masing di kantor lintas kementerian. Termasuk kritisi dan solusi sampah kami berikan dan kirimkan kepada Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

 [Rekomendasi] Solusi Sampah Indonesia

Berdasar carut-marut pengelolaan sampah di tingkat birokrasi elit tersebut diatas, maka kami mengusulkan solusi berkelanjutan (efektif dan efisien sesuai regulasi) dalam mengatasi sampah Indonesia, sebagai berikut:

  1. Terbitkan Perpres atau Nota Perintah Presiden tentang Penguatan Pelaksanaan Regulasi Persampahan, khususnya penguatan Pasal 13 UU.18 Tahun 2008, untuki ditindaklanjuti oleh pemda, atau
  2. Bentuk Satuan Kerja yang bekerja dibawah dan/atau bertanggungjawab langsung kepada presiden, atau
  3. Bentuk Badan Pengelola Sampah Nasional.
  4. Terlebih penting dan sangat penting, adalah keterbukaan dan kerelaan hati semua stakeholder, lebih khusus pada birokrasi, pemerhati dan lembaga penggiat sampah dan lingkungan serta akademisi untuk "berbesar hati" menjalankan regulasi yang telah ada itu. Jangan sembarang merekomendasi tanpa dasar yang kuat. Karena kitalah yang sesungguhnya diamanahkan oleh Tuhan YMK serta seluruh masyarakat Indonesia untuk menjadi lokomotif perubahan dan menjadi panutan perubahan paradigma dalam urusan persampahan ini. 
  5. Sesusngguhnya tanpa pun regulasi bila kita sadar-sedarnya, masalah sampah ini sangatlah mudah kita atasi. Tidak perlulah Presiden Jokowi turun tangan mengatasinya. Malu rasanya menyaksikan Presiden Jokowi memimpin rapat kabinet membahas solusi sampah yang tidak ada ujung-pangkalnya. Sungguh masalah ini sangatlah sederhana, yang membuat ruwet adalah cara pandang kita menghadapi dunia yang fana.

Sebelum dilaksanakan salah satu solusi tersebut, kami usulkan kepada Presiden Joko Widodo, untuk mengarahkan sekali lagi diadakan pertemuan lintas menteri yang dihadiri oleh pemerhati atau lembaga non pemerintah yang independen, untuk menguji kebenaran dugaan penulis ini. Agar jangan sembarang menerbitkan kebijakan berupa peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Mari berpikir.....!!!

Berita Terkait:

Jakarta, 23 Januari 2018

Green Indonesia Foundation

H.Asrul Hoesein (08119772131, 081287783331)


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun