Mohon tunggu...
Cecep Hasannudin
Cecep Hasannudin Mohon Tunggu... -

Anak rantau yang baru bisa baca dan nulis.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Calon TKI, Mantan TKW, dan Janji Jokowi

22 Oktober 2014   00:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:12 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua hari lalu saya menemani teman ke Tanjung Sari, Sumedang untuk menemui adiknya yang sedang mengikuti pendidikan dan pelatihan di sebuah lembaga kursus bahasa Jepang milik sebuah yayasan yang bekerjasama dengan pemerintah Jepang. Setelah kursus selesai, nantinya mereka (termasuk adik teman) akan diberangkatkan ke negeri Sakura sebagai TKI.

Ketika sang kakak meminta izin ke kamar mandi, tinggalah sang adik di samping saya. Rasanya sulit kalau saya harus diam saja tanpa basa-basi, apalagi duduk di sebelah saya adik teman saya—yang notabene saya tidak kenal namanya. Lanjut!

Saya: “Eh, udah lama di sini?”

Dia: “Baru dua bulan, Bang!”

Saya: “Wah, lumayan lama, tuh!”

Dia: “Iya, bang!”

Saya: “Pasti udah jago, ya bahasa Jepang?”

Dia (senyum saja. Padahal saya saat itu belum butuh senyumannya, saya butuh jawaban berupa suara) : ”Yah, lumayanlah, Bang!”

Saya: “Di asrama ini ada  berapa orang?”

Dia: “Limapuluh orang, Bang!”

Saya: “Banyak juga, tuh! Yang dari Bengkulu berapa orang?”

Dia: ”Duapuluhan.”

Saya: “Yang lain darimana aja?”

Dia: “Cirebon, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, banyak dari luar daerah pokoknya, Bang!”

Saya: “Laki-laki semua?”

Dia: “Ada juga cewek, kalau enggak salah empat orang.” (Memang benar, tak lama setelah itu saya lihat ada dua cewek yang hilir mudik di halaman depan sebuah bangunan yang dijadikan tempat kursus bahasa Jepang itu. Biasa, mereka melempar senyum ke saya. Mereka tahu saya ini orang yang baru dilihatnya dan tentu tamu dan bukan penjahat)

Saya: “Manis juga ya, cewek tadi yang lewat sini. Orang mana dia?”

Dia: “Oh, dia orang Jawa, Bang!”

Saya: “Cowok-cewek asramanya campur?”

Dia: “Enggak. Cewek di gedung ini lantai dua (menunjuk gedung di mana kami sedang ngobrol). Yang cowok di sebelah gedung ini.”

Saya: ”Pelatihan bahasa Jepang di sini berapa bulan sebelum diberangkatkan ke Jepang?”

Dia: “Empat bulan, Bang.”

Saya: “Bayar atau gratis?”

Dia: “Bayar, Bang! Tigapuluh lima juta selama 4 bulan.”

Saya: “Kalau makan sehari-hari gimana?”

Dia: “Nah, 35 juta itu udah termasuk biaya kursus bahasa Jepang, makan, dan tempat tinggal.”

Saya: “Setelah 4 bulan, terus nanti berangkat  ke Jepang, ongkos ke sana kita ngeluarin lagi enggak?”

Dia: “O, iya aku lupa, Bang. Jadi 35 juta itu udah termasuk ongkos keberangkatan kita ke Jepang.”

Saya: “O...mantap juga, ya. Sistem belajarnya gimana di sini? Apakah kursus bahasa Jepang aja atau ada pelatihan keahlian lain?”

Dia: “Ya kursus bahasa aja, Bang. Kalau keahlian lain enggak ada, kecuali informasi tentang gimana tatakrama, budaya, dan sosial di Jepang.”

Saya: “Terus, nanti kalau kalian jadi diberangkatkan ke sana, udah tahu mau ditempatkan di perusahaan mana?”

Dia: “Ya, lembaga pelatihan kita di sini kerjasama dengan perwakilan yang ada di Jepang. Beberapa hari lalu orang Jepang sempat berkunjung ke sini untuk memantau kami. Kalau di perusahaan mana kita akan ditempatkan, itu nanti kalau kita udah pasti berangkat, baru ada pemberitahuan dari sini. Pokoknya setelah wawancara.”

Saya: “O, gitu. Bisa tahu enggak, kira-kira nanti kalian ditempatkan di perusahaan apa?”

Dia: “Belum tahu, Bang. Tapi kalau cerita teman-teman yang udah pernah kerja di sana, ya perusahaannya bermacam-macam, misalnya perusahaan elektronik, pabrik pembuatan kendaraan, ah apalagi, ya...”

Saya: “Sistemnya kontrak, ya? Berapa tahun?”

Dia: “Ya, tiga tahun, Bang!”

Saya: “Tiga tahun...hmmm. Cuma tiga tahun?”

Dia: “Iya, tiga tahun.”

Saya: “Boleh ngajukan cuti buat libur enggak kira-kira nanti kalau udah di Jepang?”

Dia: “Cuti pulang ke Indonesia maksudnya? O, enggak bisa. Pokoknya selama kontrak kita enggak boleh pulang ke Indonesia. Pas liburan ya tetap di Jepang aja.”

Saya: ”Kalau nanti jadi ke Jepang, kalian di sana nge-kos atau gimana?”

Dia: “Kita di sana tinggal di mes atau semacam asrama yang disiapkan oleh perusahaan di mana kita bekerja. Jadi gratis di sana.”

Saya: “Kalau makan sehari-hari? Gratis juga?”

Dia: “Nah kalau itu belum tahu, Bang!”

Saya: “Ntar coba tanyain detailnya sama pengelola lembaga ini. Biar jelas.”

Dia: (mengangguk-angguk)

Saya: “O, iya. Berapa gaji di Jepang?”

Dia: “Sepuluh juta sebulan, Bang!”

Saya: “O, lumayan, tuh, Bro!”

Dia: (senyum saja walau tanpa disuruh)

Wah enaknya, ya dapat gaji segitu. Uangnya bisa ditabungin atau ditransfer ke orangtua. Juga bisa buat beli tanah, rumah, motor, bisa juga buat biaya nikah. Atau bayar utang. Saya juga udah sering lihat tetangga yang pernah jadi TKW/ TKI, baik di Jepang, Korea, Malaysia maupun Arab.

Dan yang paling menonjol hasilnya, yakni teman yang jadi TKI di Jepang dan Korea. Mereka, salah satunya, begitu pulang dari sana langsung beli 5 buah angkot. Lumayan, kan? Ada lagi yang beli tanah berhektar-hektar yang tanahnya produktif karena berisi karet/kelapa sawit.

Tetangga saya yang ke Malaysia lebih dari dua orang. Yang satu, sebut saja Lastri, ibu beranak satu. Suaminya, Bagong mengizinkan sang istri untuk mengadu nasib ke negeri Jiran. Lastri pun berangkat. Entah kontraknya di sana berapa tahun. Jelasnya dia kerja jadi pembantu di negara sebelah itu. Suatu hari Lasti kirim surat ke suaminya di Indonesia.

Inti suratnya, cerita para tetangga yang lain, Lastri mengizinkan sang suami untuk menikah lagi kalau mau nikah. Sebab persisnya saya enggak tahu kenapa si Lastri bilang begitu. Saya menyangka, pasti ada sesuatu yang tidak beres. Tak lama, Bagong pun menikah lagi dan hingga kini telah pula dikaruniai dua anak.

Lastri, sampai tulisan ini dibuat, yang saya tahu sejak tahun 2000 hingga saat ini belum juga pulang ke Indonesia. Diperpanjangkah kontraknya di Malaysia? Ah, saya tidak tahu. Sempat pula mampir ke telinga saya, Lastri menikah lagi dengan orang Jiran. Punya anak tidaknya, belum sempat saya pikirkan.

Sama dengan Ipoh. Ibu beranak empat itu pun ceritanya kerja di Malaysia sebagai pembantu rumah tangga. Dua atau tiga tahun berikutnya, dia pulang ke Indonesia. Eh, tak lama, tiba-tiba Ipoh minta cerai ke suaminya. Saya enggak yakin kalau Ajin, suaminya enggak kaget. Permintaan pun dipenuhi walau, pastinya sang suami sakit hati. Begitu surat-surat perceraian rampung, Ipoh kembali lagi ke Jiran.

Tak lama, mantan suaminya sakit keras. Ipoh tetap di perantauannya, meski keempat anaknya memintanya pulang sejenak. Hingga akhirnya, Ajin pun meninggal dunia tanpa dihadiri oleh mantan istrinya. Terpaksalah, menurut cerita tetangga, buah hatinya menyimpan kebencian terhadap ibunya. Beberapa tahun kemudian, Ipoh menikah lagi, yang katanya umur suaminya jauh lebih muda. Kini, keduanya tinggal di kawasan pasar di desa saya berjualan bakso.

Berbeda dengan Miyem. Sama, sebagai pembantu rumah tangga, tapi di Libanon. Kontrak dua tahun, lalu pulang ke Indonesia, tapi tidak menyuruh suami, Jafar menceraikannya. Lumayan, pikiran dan hatinya masih lurus. Suaminya pun, saya tengok enggak neko-neko. Dia suami pendiam yang selalu menggratiskan senyum kepada siapa saja ia berpapasan.

Tak begitu lama, bekas majikan Miyem di Libanon memintanya kembali bekerja. Berangkatlah lagi ke sana ibu beranak dua itu—walau sebelumnya ia telah membeli tanah sekaligus bangun rumah. Dua tahun kemudian dia udah balik lagi ke rumah. Suami dan anaknya pun masih utuh dan setia hingga kini.

Saya lagi: “Eh, di sini semuanya bujang?”

Dia: “Enggak juga, tuh, Bang! Sudah ada yang nikah bahkan udah punya anak (sambil nunjuk ke orang bersangkutan, yang juga katanya dari Bengkulu. Dan setelah di sidik-sidik, ternyata dia kakak kelas saya saat SMA).”

Ketika saya dan teman hendak meninggalkan lembaga kursus bahasa Jepang itu, teman itu bilang,”Sepertinya adik saya belum bisa berangkat ke Jepang tahun ini. Soalnya belum ada kejelasan sampai sekarang. Awas saja kalau enggak jujur. Kita sudah bayar mahal-mahal 35 juta, lho!”

Kenapa kerja harus jauh-jauh ke luar negeri? Saya ingat janji Jokowi-Kalla saat kampanye, jika mereka terpilih akan membuka lowongan kerja sebanyak-banyaknya. Artinya, negeri kita bakal terhindar dari pengangguran. Nah, wong Solo dan Sulawesi itu kini resmi jadi presiden dan wakil presiden. Ingat, saya bisa marah kalau presiden kita yang baru ini sekadar PHP!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun