Mohon tunggu...
Hasan Ismail
Hasan Ismail Mohon Tunggu... Insinyur - Pribadi yang masih haus ilmu, jadi masih terus belajar dan mengaji

Ayo terus bermujahadah :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Refleksi Perang Gaya Baru Pasca-Berakhirnya Perang Dingin

16 November 2019   14:45 Diperbarui: 16 November 2019   14:56 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seorang pakar politik dari Amerika, Samuel Phillips Huntington (1997), menyatakan bahwa setelah selesainya perang dingin dengan runtuhnya komunis dimana-mana dan bubarnya Uni Sovyet, maka selanjutnya yang akan terjadi adalah adanya perang peradaban. Artinya faktor perbedaan agama dan suku (SARA) akan cenderung menjadi sebab (akar pemicu) utama munculnya konflik dan peperangan. Politik dan ekonomi bukanlah sebagai alasan dan pemicu utama, meskipun umumnya banyak yang menarik-narik kesimpulan ke isu-isu ini sebagai musababnya.

Ini terbukti dengan munculnya Arab Spring yang telah didesain sedemikan rupa untuk meruntuhkan tatanan kehidupan bernegara beberapa negara Arab, di mulai dari Tunisia, Mesir, Suriah, dll (menyusuli Afganistan dan Irak yang telah lebih dulu bergejolak) yang mana konflik muncul didasari dan diawali dari sentiment SARA yang kemudian berakumulasi menjadi kebencian kepada pemerintah yang kemudian dimanfaatkan untuk meruntuhkan pemerintah.

Meskipun oleh negara-negara barat (pemberontakan) ini dikatakan sebagai akibat dari ketidakpuasan rakyat kepada pemerintah mereka yang kemudian menyerukan demokrasi, persamaan derajat dan keadilan sosial; dan jutaan Euro dana dikucurkan dari uni eropa sebagai bentuk dukungan; namun akibat dan dampaknya yang nyata sekali terlihat adalah justru sebagian besar negara-negara itu sampai detik ini masih mengalami konflik sosial kemanusiaan yang berkepanjangan dan tidak kunjung berhenti.

Puji syukur Alhamdulillah, meskipun akhir-akhir ini mulai bermunculan berbagai macam isu dan sentiment berlatar belakang SARA di Indonesia, sampai hari ini hal tersebut tidak sampai menyebabkan terjadinya konflik sosial kemanusiaan yang lebih jauh yang dapat mencabik-cabik persatuan Nasional. Terutama pada masa-masa kampanye pemilihan legislatif dan pemilihan presiden beberapa waktu lalu yang sempat membuat suasana kehidupan bermasyarakat sempat memanas dan menyebaban polarisasi yang meskipun telah usai namun residunya masih terasa sampai saat ini, namun hal ini tidak sampai membuat persatuan Nasional menjadi korban. Selain karena adanya ideologi Pancasila yang mampu menyatukan ke-Bhinekaan yang ada di Indonesia, hal lainya adalah karena masih banyak ulama, kyai dan para pemuka agama lain yang mampu membawa umat ke arah yang tepat dengan memberikan komposisi yang pas (takaran yang proporsional) dan menempatkan dengan tepat beberapa unsur perbedaan yang mendasar; mulai dari perbedaan suku, agama, ras dengan nasionalisme dan kebangsaan sehingga setiap unsur dapat mendukung keberlangsungan eksistensi bangsa dan negara Indonesia. Meskipun di saat yang sama, sebagian kecil kelompok justru berusaha mengangkat dan memanfaatkan SARA sebagai isu utama untuk menjadikan rakyat dan bangsa ini terpecah belah.

Tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi kepada para ulama, kyai dan pemuka agama juga menjadi faktor pendukung untuk menekan munculnya konflik-konflik sosial. Sehingga himbauan, arahan dan bimbingan yang diberikan kepada umat maupun masyarakat masih didengar dan diikuti. Meskipun di saat yang sama, sebagian kecil kelompok juga memanfaatkan situasi yang sama untuk terus menyebarkan isu-isu kebencian di kalangan pendukung kelompoknya sehingga dapat menyebabkan polarisasi di tengah masyarakat. Bahkan muncul berbagai isu yang berusaha untuk mendegradasi tingkap kepercayaan umat kepada para ulama, kyai dan pemimpin agama dengan memblowup kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakukan sebagian kecil orang-orang (yang dianggap) pemimpin agama. Namun hal ini mampu diredam dan tidak sampai menyebabkan konflik menjadi semakin meluas.

Tingkat kepercayaan kepada pemerintah juga masih relatif tinggi, meskipun disaat yang sama berbagai isu dihembuskan untuk meruntuhkan tingkat kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya. Mulai dari isu meningkatnya kemiskinan, masih tingginya ketidakadilan, kurangnya perhatian terhadap penegakan hak asasi manusia maupun pelanggaran yang dilakukan aparat dan pemerintah, meningkatknya perilaku koruptif, pengekangan kebebasan berpendapat, dan lain-lain.       

Mudah-mudahan rakyat Indonesia semakin cerdas dan bijak dalam berfikir dan bersikap terhadap berbagai isu yang berkembang. Dengan begitu kita semua tidak sampai tejerumus pada perpecahan lebih jauh. Dan dengan bekal kerukunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka cita-cita Indonesia maju bisa diraih.

Yang jelas, perpecahan pasti akan memberikan dampak buruk kepada kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan jika hal ini sampai terjadi, rakyatlah tetap akan menjadi korban.

Sumber:

Mauidhoh Hasanah Ketua Umum PBNU di Kantor PWNU Jatim, Kamis (17/10/2019).

Samuel P. Huntington, "The Clash of Civilisations" (1996)

Memo Komisi Uni Eropa "The EU's response to the 'Arab Spring'" (2011)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun