Idealnya tim ini memiliki anggota yang full-time yang dengan berjalannya waktu akan menjadi stabil kinerjanya semakin produktif. Analoginya seperti sebuah tim sepakbola terdiri dari 11 orang yang berlatih bersama, bermain/ bekerja bersama di setiap pertandingan.
From command and control to self organization
Perubahan kepemimpinan dari command & control menjadi self-organization merupakan salah satu falsafah mendasar dari penerapan Agile di organisasi. Terjadi perubahan peran pemimpin yang (biasanya) memberi perintah atas apa yang harus dilakukan menjadi memberi otonomi dan akuntabilitas kepada tim. Pemimpin memberi kepercayaan kepada tim untuk menentukan cara mencapai tujuan yang dapat memberikan hasil/outcomes yang ditentukan.Â
Peran pemimpin lebih pada fungsi pemberdayaan anggota tim, melakukan coaching dan menjadi fasilitator yang responsif.
From inside out to customer drives innovation
Seringkali pembuatan produk baru dikembangkan dengan pendekatan top-down. Seorang pucuk pimpinan perusahaan terinspirasi dan membuat rencana pengembangan setelah membaca sebuah artikel menarik atau hasil sebuah konsultasi yang berisi rencana pengembangan. Tim melakukan proses pengembangan sesuai roadmap yang telah ditentukan tanpa pernah berinteraksi dengan pelanggan. Seringkali hasilnya adalah sebuah produk tanpa pengguna atau jumlah pengguna terlalu sedikit. Dalam situasi yang lain, produk yang dihasilkan justru tidak memiliki kapabilitas yang sangat dibutuhkan oleh penggunanya.
Seorang pemimpin dalam hal ini perlu menerapkan konsep lean startup yang dimulai dari permasalahan yang dihadapi pelanggan. Tim melakukan validasi permasalahan pelanggan sebelum benar-benar melakukan proses pengembangan produk. Tim membangun sebuah MVP (Minimum Valuable Product) yang terus disempurnakan sesuai dengan kebutuhan pelanggan yang sudah tervalidasi sebelumnya. Pendekatan ini menempatkan pelanggan sebagai fokus yang mendorong proses inovasi layanan dan produk yang dilakukan oleh tim di perusahaan.
From output ‘doing my job’ to end to end accountability
Pada umumnya seorang pemimpin menggunakan metode KPI (Key Performance Indicator) untuk membantu timnya fokus dalam bekerja dan menghasilkan output yang diinginkan. Kondisi ini biasanya mengarah pada individualisme dari setiap anggota tim untuk mengejar pencapaian KPI tersebut yang berhubungan langsung dengan apresiasi. Kondisinya seperti setiap orang memiliki daftar yang ingin segera diberi tanda centang karena sudah dilaksanakan.
Didalam penerapan Agile, seorang pemimpin menekankan pencapaian tim secara keseluruhan berbasis pada hasil/outcomes yang diraih, bukan pada output setiap individu. Agar lebih mudah memahami hal ini, berikut contoh imaginatif tentang perbedaan output dan outcomes pada perusahaan pembangunan jalan, sebagai berikut:
Dari contoh diatas pada bagian kiri jelas terlihat bahwa setiap individu akan membangun jalan sepanjang 50 mil, memperbaiki 50 jembatan dan melakukan perluasan atas 50 rute bis. Setelah semua tuntas, setiap individu akan merasa seluruh tugas telah dilaksanakan dan bahkan kita sebagai pemimpinpun dapat memberi apresiasi atas pencapaian tersebut.
Hal berbeda terjadi untuk pencapaian outcomes di sisi kanan dimana kinerja diukur dari dampaknya terhadap pengguna jalan. Tim diminta untuk dapat menurunkan tingkat kecelakaan (yang salah satunya tentu adalah membangun badan jalan). Tim merumuskan dan mengeksekusi berbagai cara selain membangun badan jalan, mereka juga memasang tambahan lampu penerangan jalan , menambah beberapa rambu jalan, menambah pagar pelindung pembatas jalan, bahkan mengupdate data di Google map.Â
Kondisi yang amat berbeda ini terjadi karena pemimpin memberikan target berbentuk hasil/outcomes sebagai dampak yang dirasakan oleh pengguna jalan, tentunya tidak semata membangun dan menambah panjang jalan seperti pada contoh sebelah kiri.