Di tengah gemuruh pembangunan kota dan hiruk pikuk modernisasi yang berlangsung dengan kecepatan tak terkendali, tersisip ironi yang begitu menyesakkan dada. Setiap kali kendaraan saya melaju di atas aspal hitam yang membentang di Jalan Raden Mattaher, ada sentakan kecil yang mengganggu nurani. Raden Mattaher---pahlawan besar tanah Jambi, pejuang gigih melawan kolonialisme---nasibnya kini hanya sebatas nama jalan sepanjang beberapa ratus meter, tersembunyi di antara gedung-gedung dan papan iklan yang justru lebih menarik perhatian.
Â
Sungguh, betapa dangkalnya apresiasi kita!
Jika kita kembali ke lembaran sejarah yang telah menguning, Raden Mattaher bukanlah sosok sembarangan. Raden Mattaher sejak usia remaja telah bergabung dengan panglima perang untuk menggempur Belanda. Perjuangan Raden Mattaher berakhir pada 7 September 1907. Raden Mattaher ditangkap oleh pasukan militer Belanda dan ditembak matidi rumahnya sendiri dalam operasi militer Belanda. Kemudian, ia dimakamkan di komplek pemakaman raja-raja Jambi di tepi Danau Sipin Jambi.
Â
Namun apa yang tersisa dari perjuangan heroik tersebut? Sebuah plakat jalan yang seringkali terlihat kusam, dilalui ribuan orang yang sebagian besar tak pernah benar-benar tahu siapa sosok di balik nama tersebut.
Â
Amnesia Kolektif dan Industri Kenangan
Â
Kita, sebagai bangsa, tampaknya telah mengidap amnesia kolektif yang akut. Pahlawan-pahlawan kita tidak lagi hadir sebagai inspirasi yang hidup, melainkan hanya sebagai ornamen tanpa makna dalam lanskap kota. Nama mereka diabadikan pada jalan-jalan, namun kisah perjuangan mereka terkubur di bawah tumpukan tekstur aspal.