Mohon tunggu...
Harry Tjahjono
Harry Tjahjono Mohon Tunggu... lainnya -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suami Gundul Lebih Bisa Membahagiakan Istri

9 September 2012   08:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:43 901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

KETOMBE memang menjengkelkan. Tapi, ketombe pula yang ternyata berhasil membuat istri saya tertawa selama lebih dari dua minggu. Padahal, semenjak usia perkawinan kami (waktu itu) menginjak tahun ke-17, istri saya lebih sering cemberut. Lebih sering nyap-nyap. Mudah mengeluh masuk angin, pinggang pegal dan banyak lagi.

Maklumlah, siklus kenaikan gaji saya terus berpacu dan jelas selalu ketinggalan dengan laju meningkatnya kebutuhan hidup: BBM disesuaikan, harga beras melonjak, sayur mayur (celakanya termasuk cabe keriting kesukaan istri saya) makin mahal, harga kopi melejit dan seterusnya. Belakangan memang ada kabar baik, uang SPP untuk SD, SMP dan SMA dihapuskan. Tapi kabar baik itu biasanya segera disusul dengan ‘kebijakan intern’ guru sekolah yang mewajibkan para orangtua murid memberikan sumbangan sukarela untuk kepentingan ini itu.

Sebagai ibu rumah tangga yang sepenuhnya menggantungkan nafkah cuma dari suami, beban pikiran istri saya tentu tambah jadi berat. Maka, maklumlah jika istri saya lebih sering cemberut. Saya bahkan merasa bersalah karena tak bisa menjadi suami yang mampu membelikan perhiasan emas, gaun keluaran butik, apalagi mengajak istri melancong ke luar negeri. Diam-diam saya sering menyesali nasib dan mengadu pada diri sendiri: Oh, mengapa saya bukan suami yang punya gaji sangat besar, atau terlahir sebagai keturunan orang kaya?

Tapi, Tuhan memang Mahabaik dan mungkin Mahalucu juga. Sebab, berkat ketombe saya berhasil membuat istri saya tertawa (dan mudah-mudahan juga bahagia) selama dua minggu. Saya memang tidak yakin kalau yang menumbuhkan ketombe di kepala saya adalah Tuhan. Saya hanya menduga-duga saja. Bukankah Tuhan Mahapencipta dan Mahapemberi pula? bisa menciptakan manusia dari segenggam tanah liat? Baiklah. Keajaiban ketombe itu ceritanya begini:

Setahun setelah menikah, kepala saya langsung berketombe. Segala daya sudah saya kerahkan untuk mencari penyembuhan. Memakai macam-macam shampo antiketombe, sudah. Ke dokter, sudah. Tiap hari keramas, tentu saja sudah. Tapi, ketombe tetap membandel dan menyatu dengan kulit kepala saya.

Menurut seorang teman, ketombe ada hubungannya dengan beban pikiran.“Pria yang sudah menikah cenderung berketombe. Sebab, beban pikirannya jadi tambah banyak. Selain itu kebebasannya juga terbatas, malah bisa dibilang terkekang. Berbeda dengan yang masih bujangan, yang pikiran dan gerak hidupnya lebih bebas,” katanya.

Teman saya itu memang terkenal punya ketekunan menyimak internet, mengunduh segala macam pengetahuan (dan pernah ketahuan seang ngintip situs porno),oleh karena itu pendapatnya mungkin saja benar. Tapi, apakah gara-gara tidak mau berketombe saja orang lantas tidak menikah?Atau bagi yang sudah menikah harus bercerai? Meskipun pendapatnya mungkin benar, tapi lebih banyak mudarat daripada manfaatnya.

Ketika kemudian beban ekonomi rumah tangga kian berat, usaha memberantas ketombe itumakin berkurang akibat terbentur masalah biaya. Sebab, saya tak ingin mengurangi jatah nafkah istri dengan terus-menerus membeli shampo antiketombe.Apalagi segala macam jenis shampoo yang kata iklan manjur membasmi ketombe, sudah saya coba dan hasilnya nihil. Akibatnya, kulit kepala saya jadinya jadi lekas tebal karena dilapisi ketombe. Selain gatal, baunya tengik.Hari ini keramas dan digaruk, besok sudah menumpuk. Itu juga yang membuat saya menduga: mungkin memang ciptaan Tuhan.

Kalau misalnya tidak malu putus asa gara-gara berketombe, mungkin saya tergoda untuk…ah! Mana pantas sih orang bunuh diri gara-gara berketombe? Berbulan-bulan saya memikirkan bagaimana caranya mengatasi ketombe, akhirnya saya temukan solusi terbaik, terutama karena gampang dilaksanakan dan biayanya murah, yaitu saya berpaling pada cara tradisional: gundul! Dengan menggunduli kepala sampai pelontos, tentu bisa dilakukan pengobatan secara lebih efektif. Misalnya, diolesi air rendaman daun kangkung yang dicincang. Atau digosok dengan buah mengkudu ranum yang baunya sengit itu.

Begitulah. Pulang kantor, saya mampir ke tukang cukur dan minta digundul. Betapa parahnya ketombe yang ngendon di kepala saya, bisa diukur dari komentar tukang cukur ketika menggunting habis rambut sambil berdecak kagum, “Wah…, ketombenya mantap! Tebal dan empuk. Untung belum ada kecoak yang nelor di situ.”

Sebetulnya saya ingin bertanya apakah ketombe tempanya kecoak bertelor? Tapi, saya pikir itu hanya akan menimbulkan perdebatan tidak bermutu. Demikianlah, akhirnya saya benar-benar gundul. Saya menatap cermin dengan perasaan aneh tapi juga senang karena kepala saya tidak terlalu gatal lagi. Karena lupa membeli topi, saya terpaksa berjalan pulang dalam keadaan gundul.

Ketika tiba di rumah dalam keadaan plontos mengkilap, anak dan istri saya kaget.

“Lho? Kenapa? Habis kena razia? Ditangkap polisi?” tanya istri saya was-was.

Saya menggeleng. Kepala saya terasa enteng dan adem. Lalu saya jelaskan masalahnya dengan sabar, sehingga kekagetan istri dan anak saya berganti tawa.

“Bapak lucu! Seperti Deddy Corbuzier,” kata anak saya.

“Iya, lucu..., lucu banget,” sahut istri saya sambil terpingkal-pingkal.

Saya merasa senang dan bahagia. Berada di dekat anak dan istri yang tertawa gembira, sungguh merupakan obat lelah yang manjur lagi murah. Setiap suami tentu juga akan seperti itu.

Malamnya, bahkan setiap malam selama dua minggu penuh, saat berduaan di tempat tidur, istri saya sering tertawa secara tiba-tiba.

“Kenapa?” tanya saya saat melihat istri saya cekikikan menahan tawa.

“Kalau gundul begitu, kepalamu mirip semangka,” katanya sambil tertawa lepas.

Malam berikutnya, istri saya tertawa lagi sambil bilang, “Saya merasa tidur dengan buah melon....”

Malam berikutnya, setelah rambut saya mulai tumbuh sepersekian mili, istri saya tertawa dan nyeletuk,”Mirip jeruk Bali. Kalau dielus kasar-kasar dikit....”

Saya hanya tersenyum . Saya pikir, kelak kalau rambut kepala saya tumbuh sekitar dua sentimeter, istri saya tentu akan menyangka kepala saya seperti buah duren atau rambutan. Tak apa. Saya justru merasa bahagia. Sebab, sudah lama saya tidak pulang kantor sambil membawa oleh-oleh buah-buahan. Maklum, harga buah sungguh tak terjangkau isi kantong.

Suatu ketika, sambil tiduran istri saya mengamati gundul saya dan akhirnya "menemukan sesuatu" yang membuatnya  bertanyageli, ”Lho ternyata kamu pitak ya? Ini..., ini pitak kan?” katanya sambil jemarinya memencet bekas luka lama yang berada di dekat ubun-ubun.

“Iya. Itu warisan kenakalan masa kecil saya. Akibat kejedot daun jendela,” kata saya menjelaskan asal usul pitak itu. Menyenangkan juga memikirkan pitak itu punya asal-usul.

“Kejedot jendela? Hahaha..., syukurin!” kata istri saya, tertawa gembira.

Pendeknya, semenjak saya gundul, istri saya jadi sering tertawa. Itu membuat saya merasa bahagia. Bahkan lantas terlintas pikiran, kelak saya akan gundul lagi.Tidak plontos mengkilap. Tapi, separo gundul, separo lagi ada rambutnya. Dengan penampilan seperti itu, istri saya tentu akan makin sering tertawa (dan mudah-mudahan) bahagia.

Satu-satunya hal yang terasa kurang sreg setelah gundul, hanyalah bila kami berhubungan intim. Tak seperti biasa, selama saya gundul, jika berhubungan intim saya minta lampu dipadamkan. Saya tak ingin dia mendadak tertawa pada saat aktivitas itu berlangsung. Bisa dibayangkan bagaimana reaksi suami jika sedang berdemikian tiba-tiba istrinya tertawa. Tidak baik untuk kesehatan, bukan?

Pendeknya, setelah gundul, saya  lebih bisa membahagiakan istri dan anak-anak. Sungguh resep jitu membahagiakan keluarga yang gampang dilakukan dan murah ongkosnya. Dan resep jitu itulah yang saya sarankan agar dilaksanakan Budiman, saat ia mengeluhkan tabiat istrinya yang gemar cemberut akibat menanggung beban tekanan ekonomi rumah tangga.

“Kalau resep jitu itu kamu laksanakan, saya jamin istrimu tidak akan cemberut lagi. Berani taruhan?” tantang saya.

Budiman diam, mungkin sedang berpikir entah apa, kemudian menjawab, “Kalau saya gundul, istri saya mungkin memang akan sering tertawa.”

“Pasti! Saya jamin pasti sering tertawa. Berani taruhan?” tantang saya lagi.

“Tapi...,  bagaimana dengan Dewi?” kata Budiman.

“Dewi siapa?” tanya saya heran. Sebab, setahu saya, nama istri Budiman adalah Budiwati.

“Dewi yang itu lho..., the other woman gue, yang sangat mengagumi rambut ikal gue,” kata Budiman sembari tangannya mengusa-usap rambutnya yang memang ikal.

“Ooo....” ***

*Cerpen ini pernah dimuat di tabloid Bintang Indonesia dan buku Suami Istri Sadarlah. Rencana akan diterbitkan ulang,

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun