Mohon tunggu...
Angiola Harry
Angiola Harry Mohon Tunggu... Freelancer - Common Profile

Seorang jurnalis biasa

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Ketika Si Penjilat Memimpin

11 Desember 2016   02:40 Diperbarui: 20 September 2017   22:42 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: flamewarriorsguide.com

Bukanlah sesuatu yang aneh ketika melihat -di suatu perusahaan, institusi, dan organisasi- orang-orang yang begitu ramah dan sangat baik saat mereka berhadapan dengan atasannya. Kesantunan dan kesopanan mereka betapa hebatnya, bahkan membuat kagum yang melihat. Tak aneh pula, orang yang melihat hal tersebut jadi terpedaya. Mereka menganggap orang-orang itu memang orang yang ramah.

Tapi ternyata, itu jauh dari anggapan. Justru mereka bisa berbuat sebaliknya. Mereka seringnya baik, santun, sopan, royal ke atasan mereka namun cenderung semena-mena, menindas, dan terlalu perhitungan terhadap rekan setingkat mereka. Kenapa? Jawabannya ada dua. Pertama, mereka menganggap orang-orang yang setingkat bukanlah keuntungan besar bagi mereka. Ini menjadi pendorong utama sikap semena-mena mereka.

Kedua, karena sikap yang istimewa di mata atasan itu, mereka jadi disayang sang majikan. Dan inilah yang mendorong mereka menindas kawan sesamanya. Karena toh mereka akan dibela apabila mendapat perlawanan dari yang tertindas. Ujungnya, kasus seperti ini akan selalu dimenangkan oleh mereka karena si bos lebih membela apa yang dianggap bagus di matanya -padahal justru sampah. Siapakah mereka itu? Istilah umumnya biasanya disebut sebagai penjilat, oportunis, atau antek.

Lalu apa yang harus dilakukan oleh teman setingkat sejawatnya agar tidak jadi korban penindasan mereka? Pertama adalah objektif dan rasional. Jangan melawan mereka dengan cara subjektif apalagi emosional. Subjektif, dalam artian menganggap bahwa mereka sudah pasti salah. Ini ibarat menabuh genderang perang. Mereka pun akan memandangnya sebagai musuh yang harus disingkirkan. Sikap subjektif pada akhirnya memperkuat posisi mereka dalam menjelekkan musuhnya di mata si bos.

Objektif saja. Jika mereka memaksakan sesuatu hal, cari argumen yang tepat bahwa apa yang mereka paksakan bukanlah ide yang baik, dan pertahankan agumen tersebut. Jangan tergoyahkan sehingga mereka tak berhasil memerintah sembarangan. Namun apabila mereka pada tujuan yang tepat, tidak salah, ya tentunya jangan cari cara untuk mendebatnya, atau mereka akan menyerang habis-habisan.

Kedua, tunjukkan kapabilitas dan prestasi. Bukan rahasia lagi, banyak orang-orang yang kapabel dan berprestasi tapi stagnan, bergeming, tak ubah nasibnya, begitu-begitu saja, karena umumnya mereka tak mudah dipengaruhi. Sebaliknya, ada orang yang tak punya kapabilitas dan biasa saja prestasinya, namun sikap dan mulutnya yang manis, membuat mereka mudah melejit ke posisi atas. Itu sudah jamak terjadi. Tapi ingat, justru orang-orang yang manis itu adalah biang kehancuran.

Ketika kapabilitas dan prestasi melekat di dalam suatu individu, walau tidak pintar membuat senang atasan, tapi percayalah, orang seperti ini sangat dipertahankan kantor, meski dianggap out of rudder alias dicuekin karena nggak asik. Dan si penjilat, oportunis, antek takkan mudah menindas si nggak asik karena mereka bisa membungkam kaum penjilat dengan argumentasi logis yang riil dan penting. Ingat, bila belum ada kapabel dan nol prestasi, mendingan jangan melawan kaum penjilat. Karena posisi lemah akan jadi senjata mereka berbuat curang.

Kepemimpinan

Lalu bagaimana bila mereka menjadi pemimpin karena keberhasilan mereka menjilat, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, atau terbawa arus keberuntungan? Ingatlah selalu, bahwa pemimpin yang sempurna melahirkan kelanggengan kekuasaan dan terbentuk dari tempaan peristiwa, pengalaman, dan waktu. Jika kaum penjilat ini menjadi pemimpin, mereka pun menjadi pemimpin instan.

Jelas sekali bahwa mereka masuk top management dengan kapabilitas dan prestasi yang tak memadai, karena didapat dari hasil membual. Yang begini, biasanya adalah pemimpin stres, yang akan siap menindas dan membuat anak buahnya stres, sehingga menciptakan suatu bidang, divisi, atau unit stres pula. Alhasil, kompartemen yang mereka pimpin akan jadi target empuk auditor atau jadi penyebab re-organisasi kantor, bahkan yang utama menyebabkan peleburan unit, hingga penyebab kebangkrutan.

Sebaliknya, pemimpin yang lahir dari kematangan, prestasi, dan tempaan pengalaman adalah pemimpin yang jauh dari stres. Karena mereka memimpin dengan matang, yakin, paham permasalahan sekaligus solusinya, dan berstrategi. Anak buah yang dipimpinnya pun akan bekerja dengan ikhlas dan senang karena mereka tahu bosnya punya segudang strategi dan pengalaman. Kompartemen yang mereka pimpin biasanya akan paling menonjol dari prestasi perusahaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun