Mohon tunggu...
Angiola Harry
Angiola Harry Mohon Tunggu... Freelancer - Common Profile

Seorang jurnalis biasa

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kenapa (Tidak) Bekerja dengan Cinta?

19 Februari 2020   09:29 Diperbarui: 21 Februari 2020   14:29 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bekerja dengan hati (Sumber: pixabay.com/kaboompics)

Puspita Zorawar mengatakan fenomena seperti itu tak lain adalah ciri persoalan engagement atau ikrar diri terhadap sebuah komitmen. "Performa karyawan akan baik bila dalam dirinya terdapat engagement yang baik pula," ungkap Puspita. Bisa jadi, menurutnya, pengikatan semangat bekerja dengan apa yang diberikan perusahaan, pemilik usaha, atau atasan yang kurang fair terhadap karyawan.

Menurutnya hal seperti di atas, yakni kurangnya baiknya menyikapi sebuah tugas atau komitmen, jarang terjadi terhadap pemilik perusahaan atau usaha. Karena mereka sendiri yang menjalankan usaha dengan strateginya, sudah memperhitungkan risiko di depan dengan target keuntungan. Bila ada pemilik usaha yang bermental seperti cerita di atas, maka mereka adalah seburuk-buruknya pengusaha.

Lalu Puspita pun memaparkan data lima tahun ke belakang, mengenai nilai survey engagement. Data-data perusahaan mana yang berhasil menembus angka 4,29 atau world class company, dari tiga negara terkemuka di Asia Tenggara. 

Singapura, negara yang 90 kali lebih kecil dari Indonesia, terdapat 42 persen perusahaan yang dinyatakan world class company. Malaysia 32 persen, dan Indonesia hanya 29 persen saja. Apa yang terjadi pada Indonesia sehingga kalah dari Singapura dan Malaysia?

Orientasi Terbalik?

Salah satu yang mungkin bukan yang utama tapi sering terdengar, adalah orientasi terbalik. Sering terdengar keluhan di perkantoran, yaitu bagi yang absen lebih awal dan pulang lebih larut, bisa mengalahkan kinerja kurang. Kuantitas lebih penting dari kualitas. Penting meski bukan yang terpenting. Akibatnya, banyak ketidakadilan yang terjadi. Banyak pegawai yang pagi-pagi menjelang jam kerja, berkompetisi mengejar absen supaya tidak telat. Tapi ketika bekerja, hasilnya berantakan.

Pekerjaan dikerjakan dengan konsentrasi yang sudah turun, semangat kerja yang sudah melorot, dan pasca istirahat kantor hanya tinggal sisa-sisa tenaga yang ada. Alhasil pekerjaan dilakukan sampai lembur dengan tenaga dan pikiran sisa-sisa, serta boros pengeluaran energi kantor.

Mereka yang di golongan ini, pulang malam, kelelahan, tapi besok paginya harus kejar absen lagi. Alhasil, sering kita lihat di jalanan, semakin pagi menjelang siang, banyak pengendara yang ugal-ugalan berupaya tidak telat absen. Jadi pembalap di tempat yang bukan seharusnya dan jadi pecundang di tempat yang diharapkan. Jadi pembalap gagal, karyawan pun bukan. Sangat ironis.

Sementara tidak sedikit juga pegawai yang karena terdorong oleh konsentrasi bekerja, mereka berupaya datang dan sampai ke kantor dengan bugar dan fresh, dengan cara bangun lebih pagi, berangkat lebih awal sehingga tidak terlibat kompetisi kejar absen mendekati jam kerja. 

Pekerjaan pun dilakukan dengan lebih baik, recharge tenaga dan pikiran setelah jam istirahat masih mampu untuk menyelesaikan tantangan kerja hingga akhir jam kerja. Tak perlu lembur tapi pekerjaan beres dan rapi.

Sayangnya, banyak juga kantor yang kurang menghargai tipe orang-orang yang mampu me-manage waktu dan tenaga tersebut, karena mereka sering tampak pulang tenggo ketimbang lembur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun