Mohon tunggu...
Angiola Harry
Angiola Harry Mohon Tunggu... Freelancer - Common Profile

Seorang jurnalis biasa

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

UMKM, Menangkal "Disruption" di Indonesia

27 November 2017   13:44 Diperbarui: 27 November 2017   14:00 1172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini istilah disruption cukup bikin kacau dunia persilatan. Sesuatu yang telah berjalan dengan stabil dan konsisten, ternyata buyar karena inovasi baru. Alhasil, terjadi perubahan cukup mendasar di dunia bisnis.

Banyak toko konvensional yang tutup lantaran toko online. Usaha konvensional gulung tikar oleh geliat bisnis online. Namun dari sekian banyak perubahan-perubahan radikal yang terjadi, tampak bahwa yang mampu bertahan dan terus berkembang adalah mereka yang kreatif dan punya rencana jauh ke depan atau visioner.

Betapapun gangguan nyelonong dari kanan kiri atas bawah, mereka yang berani berkreasi radikal dan visioner adalah mereka yang ternyata mampu mengatasi kondisi. Dan memang bila dilihat dari sejarah-sejarah dunia yang besar, keberanian mengambil langkah radikal menjadi jawaban atas apapun situasinya.

Namun semua tergantung situasi dan kondisi di negara yang bersangkutan. Mungkin di negara Adikuasa, penerapannya beda dengan negara berkembang. Coba kita kembali telaah sekitar 25 tahun silam atau sekitar 1990-1991. Dunia cukup gempar dengan keputusan Amerika Serikat (AS) menyatakan perang lanjutan di kawasan Teluk Persia. Di AS sendiri, terutama di kawasan Wallstreet, New York, update situasi Perang Teluk II di televisi saban hari disiarkan.

Radikalisme Bush

Perang yang berlangsung sekitar 42 hari itu dinamai "Operation Desert Storm" yang pada akhirnya membuat Irak kewalahan. Serangan masif dari udara dan darat itu akhirnya berujung pada kesepakatan Irak terhadap AS pada 28 Februari 1991, yakni perjanjian bagi Irak untuk menghormati koalisi dengan Washington.

Serta syarat perdamaian dari PBB. Berdasarkan data Congressional Research Service, dikutip dari Sindo News pada artikel Lima Perang Termahal sejak Perang Dunia II biaya operasi yang dikeluarkan AS dalam Perang Teluk sekitar USD 102 miliar.

Pada 1991, bila ditilik dari kacamata ekonomi, negara Adikuasa tersebut sebenarnya sedang resesi. Presiden AS saat itu, George H.W. Bush -yang memimpin di periode 1989-1993 mendapat warisan kondisi perekonomian yang kurang bagus dari presiden sebelumnya, Ronald Reagan. Pada 1990 tepatnya per 1 Juli, Bush menyatakan negaranya resesi ekonomi.

Dalam hitung-hitungan defisit-surplus perekonomian Presiden Bill Clinton yang pernah dipublikasikan seorang ekonom AS Jim Luke pada kursus LCC Econ, 2013, tercatat bahwa defisit ekonomi di bawah kepemimpinan Bush dalam tahun fiskal federal AS 1991, menyentuh hingga USD 290 miliar. Kemudian oleh Clinton, kondisi berhasil berbalik hingga mencapai surplus USD 236 miliar, sepuluh tahun kemudian atau pada akhir 2000.

Namun yang patut dicatat dalam Perang Teluk Persia tersebut, upaya Clinton dipermudah oleh kemenangan Bush di perang tersebut. Dengan kemenangan AS di Perang Teluk, hegemoni AS di kawasan Timur Tengah -yang merupakan kawasan dengan 70% cadangan minyak dunia, menjadi luas. Disitu AS mendapat banyak keuntungan.

Jadi meskipun Perang Teluk menggerus perekonomian AS hingga nyaris sepertiga dari defisit keuangan negara, namun mereka mampu meraih keuntungan politik hingga perekonomian AS mulai menuai surplus pada 1997. Boleh juga radikalisme si Bush.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun