Mohon tunggu...
Harrys Simanungkalit
Harrys Simanungkalit Mohon Tunggu... Freelancer - Hotelier

Manusia Biasa Yang Sering Overthinking

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pelanggaran Etika di Media Sosial

26 September 2021   09:33 Diperbarui: 26 September 2021   09:37 1734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Kompas Lifestyle

Fenomena ingin selalu eksis di media sosial membuat beberapa pengguna media sosial (atau yang lebih dikenal dengan sebutan netizen) membagikan segala sesuatunya di media sosial. Baik itu hal yang umum, sampai yang privasi. Bahkan tak jarang konten yang melanggar etika dan sopan santun.

Manusia sebagai mahluk sosial memang butuh berinteraksi dengan manusia lain. Namun trend media sosial ini membuat beberapa orang lebih memilih untuk berinteraksi dengan orang lain yang berada di tempat lain, daripada dengan orang yang saat itu sedang bersamanya.

Anda pasti setuju bahwa sudah menjadi pemandangan umum di lobby bandara, cafe/restoran, food court, bahkan di ruang tamu rumah, orang-orang lebih terlihat sibuk haha-hihi, atau berbalas video call/pesan lewat ponsel dengan dengan orang yang entah berada dimana, daripada ngobrol atau bercengkerama dengan orang yang duduk di samping atau di depannya.

Slogan sarkas memgenai media sosial memang benar-benar seolah benar-benar nyata: menjauhkan yang dekat & mendekatkan yang jauh.

Jika anda termasuk orang yang suka memantau konten media sosial, anda akan sering melihat betapa orang lebih suka merekam suatu kejadian memakai ponsel daripada berbuat sesuatu yang sifatnya menolong. 

Tak cukup hanya merekam dalam bentuk video, hasil rekaman video tersebut juga dalam hitungan detik akan langsung dibagikan ke media sosial tanpa penjelasan atau informasi pendukung, sehingga dengan segera memancing reaksi para netizen dengan palu hakim masing-masing untuk menjatuhkan vonis tentang apa yang sebenarnya tidak mereka pahami.

Mungkin anda juga sudah sangat akrab dengan video-video bermuatan hate speech, yang saat di video terlihat garang, namun setelah diringkus terlihat seperti kucing yang baru tersiram air. Tujuannya apa? Apalagi kalau bukan karena gila eksistensi dan haus pengakuan sehingga mengabaikan norma & sopan santun, tetapi tak pernah terbersit apa konsekuensinya.

Tak jarang, masalah konflik pribadi juga ikut disebarkan melalui media sosial. Salah satu kasus yang paling sering terjadi adalah penggerebekan pasangan suami/istri yang selingkuh. Sesuatu yang alangkah baiknya diselesaikan secara kekeluargaan daripada melibatkan para netizen sebagai saksi atau pengacara massal yang terpecah karena membela salah satu kubu.

Satu hal yang juga cukup menganggu adalah aksi tidak menghargai privasi orang lain. Di media sosial, beberapa netizen (yang bukan keluarga) sering membagikan foto atau video pasien yang sedang dirawat di sebuah kamar rumah sakit. Dalam keadaan tidak berdaya, sedang dalam perawatan dengan selang-selang infus dan oksigen di sana-sini, dan terlihat sedang tidak menyadari bahwa dia sedang difoto atau divideokan. 

Mungkin maksudnya baik, minta didoakan oleh orang-orang yang mengenal. Tetapi alangkah baiknya jika yang membagikan adalah pihak keluarga saja. Jadi informasinya sampai pada orang-orang yang tepat.

Dengan modus membubuhkan caption minta doa kesembuhan, tanpa izin si pasien atau keluarganya, sang netizen menyebarkan foto & video tersebut di media sosial. Padahal sang pasien yang menjadi objek foto/video belum tentu berkenan fotonya dalam keadaan tidak berdaya seperti itu disebarkan ke orang-orang. Di sini memang sangat diperlukan empati, memposisikan diri di posisi orang lain. Apakah kita sendiri juga berkenan jika foto kita dalam keadaan begitu disebar di media sosial untuk dilihat pihak-pihak yang tidak berkepentingan?

Kecuali sudah mendapat izin dari orang yang menjadi objek foto/video, tentu tidak menjadi masalah. Tetapi sebelum menyebar foto/video seperti itu, apakah kita pernah minta izin?

Beda netizen, beda juga pelanggaran etikanya. Di sebuah media sosial bernama Tiktok, anda bisa menemukan beberapa video pendek yang mendokumentasikan orang-orang yang sedang sakratul maut dengan latar belakang tangisan keluarga yang meraung-raung. Juga beberapa orang yang sedang melayat lalu membagikan foto jenazah. 

Lupa bahwa konten seperti itu sangat tidak etis, dan tau mau tahu bahwa banyak orang yang merasa tidak nyaman dengan suguhan konten seperti itu. Padahal hanya dengan membagikan informasi dalam bentuk teks atau narasi saja sebenarnya sudah cukup.

Kegilaan untuk selalu terlihat eksis di media sosial sering sekali mengalahkan etika dan sopan santun. Banyak yang lupa ada beberapa konten tertentu yang tidak layak dan tidak etis untuk disebar, kecuali untuk dokumentasi pribadi/keluarga.

Tidak ada undang-undang atau peraturan resmi yang mengatur konten seperti apa yang harus dibagikan di media sosial, hanya perlu pikiran sehat & rasa empati untuk bisa cerdas menggunakan media sosial. Beberapa orang hanya sekedar membagikan konten tanpa mau berpikir dengan pertanyaan dasar: Apakah perlu? Apakah tidak menyinggung? Apakah etis?

Semoga kita adalah bagian dari netizen semakin bijak menggunakan media sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun